BATAM – Pengamat politik sekaligus, Rektor Akademi Pemilu dan Demokrasi, Masykurudin Hafidz, meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru terkait Pilkada 2024.
Ia mengatakan, sejak awal penyusunan Undang-Undang (UU) sebenarnya banyak pihak termasuk dirinya yang mendorong untuk ambang batas calon atau threshold itu nol persen atau ditiadakan.
“Baik itu di tingkat presiden maupun kepala daerah, hal ini agar membuka peluang banyak calon yang maju,” ujar pria yang akrab disapa cak Masykur, Senin 26 Agustus 2024.
“Namun, apa boleh buat, setelah melewati perdebatan di DPR RI, akhirnya threshold itu tetap ada bahkan mengalami kenaikan dari awalnya 3,5 persen menjadi 4 persen,” sambung mantan staf ahli Bawaslu RI tersebut.
Begitu juga terkait pilkada, menurutnya, banyak usulan yang meminta agar tidak menggunakan ambang batas, seperti yang terdapat dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 terkait Pilkada yaitu ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah yang kini dipertahankan Baleg DPR RI.
Menurutnya, hal ini dapat justru membuat kontestasi menjadi lebih buruk, sebab, hanya akan mengedepankan soal menang kalah, bukan adu gagasan.
“Kita ingin semua partai dapat mengusulkan sehingga representasi masyarakat bisa jauh lebih terwujud. Dengan begitu gagasan untuk membangun daerah bisa datang dari mana saja” ungkapnya.
Ia juga menyesalkan, belum lagi usai perdebatan persoalan threshold, kini regulasi semakin dipersempit lagi. Ia melihat konfigurasi partai politik untuk mengusung pasangan calon semakin dibuat ‘mengental’ sehingga ada indikasi pemborongan partai dalam koalisi yang ingin memunculkan calon tunggal alias oligarki.
“Sekarang pemetaan koalisi itu bukan lagi dibikin oleh partai politik, tapi oleh orang kuat, berduit yang mengumpulkan partai politik. Kalau di Pilkada kan kelihatan tuh, ada orang kaya, pengusaha tambang, dan lainnya” ungkapnya.
“Kita lihat di daerah yang cukup besar, Jawa Timur, Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta siapa lagi calon di luar yang muncul, hampir tidak ada. Partai-partai ini berkumpul untuk membangun kekuatan mengusung calon tunggal” tambahnya.
Sehingga ia memandang, narasi yang kini dibangun dalam pilkada di seluruh Indonesia hanyalah soal kalah-menang bukan adu gagasan.
“Boleh bertujuan menang tapi jangan membatasi orang untuk mencalonkan diri,” ujarnya.
Ia melanjutkan, pada putusan MK pada 20 Agustus 2024 yang mengubah ambang batas pencalonan didasarkan pada jumlah penduduk dan pembatasan umur yang dibuat MK, sebenarnya bertujuan agar praktik oligarki melalui ambang batas (threshold) tidak meluas (dibatasi) sehingga dapat membuka kesempatan kepada banyak calon meskipun belum tentu menang.
“Nah sekarang yang terjadi bisa dilihat banyak partai yang bersatu untuk mengusung satu calon yang dinilai kuat. Yang didukung ini datang dari oligarki juga. Jadi sudahlah partainya oligarki calon yang didukung juga oligarki. Untuk itu keputusan MK harus didukung,” tegasnya.
Ia pun berharap KPU tetap mengikuti putusan MK sebagai lembaga penilai konstitusi tertinggi. Apalagi belum ada undang-undang terbaru terkait Pilkada, termasuk penggunaan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) pun tidak mungkin karena situasi kegentingannya tidak ada, sehingga juga akan menyalahi putusan MK.
“Tapi kalau dilihat pernyataan dari KPU, penyelenggara pemilihan itu sepertinya akan menggunakan putusan MK (bukan MA),” ujarnya.
Namun, ia tetap kembali menegaskan, agar KPU harus tetap mengikuti keputusan MK, meskipun ada tekanan dari DPR pada saat RDP.
Karena jika KPU tidak mengikuti, dampaknya akan jauh lebih besar, termasuk potensi demonstrasi yang lebih kuat dan situasi politik yang lebih kacau yang berpotensi menyebabkan Pilkada diundur.
“Apalagi masyarakat kini kulminasinya kini banyak yang merasa oligarki akan muncul,” ungkapnya.
Baca juga: KPU Batam Umumkan Pendaftaran Calon Pilkada 2024, Berikut Syaratnya
Ia juga berharap agar KPU tetap konsisten dengan keputusannya untuk menggunakan putusan MK, mengingat pentingnya kepastian hukum dan masa depan demokrasi di Indonesia.
“Waktunya sangat mepet, perlu kepastian hukum. Maka, tidak ada cara lain bagi KPU untuk menunjukkan bahwa mereka adalah penegak demokrasi selain dengan menggunakan putusan MK dalam mengatur PKPU. Itu adalah langkah terbaik bagi masa depan kita. Begitu juga DPR,” tutupnya. (*)
Ikuti Berita Ulasan.co di Google News