BATAM – Pengamat hukum menilai pernyataan polisi keliru terkait unjuk rasa harus berizin.
Seperti unjuk rasa baru-baru ini di Polresta Barelang, Batam, Kepulauan Riau. Pasalnya, dalam unjuk rasa itu terjadi kericuhan antara aparat dengan massa aksi.
Pengamat hukum dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Tanjungpinang, Oksep Adhayanto menyampaikan, kebebasan berpendapat merupakan hak asasi setiap manusia yang diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD). Namun, hak asasi itu dibatasi hukum adat, hukum internasional, maupun peraturan perundangan yang berlaku.
Aksi unjuk rasa boleh saja dilakukan tapi harus dengan surat pemberitahuan terlebih dahulu ke kepolisian. Hal itu juga tertuang dalam peraturan perundangan.
“Kalau dia tidak memberitahukan, itu salah. Tapi, kalau diberi tahu, boleh. Negara tidak melarang aksi demonstrasi,” kata Oksep, Rabu (22/03).
Selain itu, terdapat juga beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan aksi unjuk rasa. Misalnya dengan tetap menjaga kepentingan umum.
Menurutnya, pihak kepolisian berhak mengambil tindakan apabila pelaku aksi unjuk rasa itu tidak memberikan surat pemberitahuan sebelumnya atau menganggu ketertiban umum.
“Misalnya kemacetan atau menganggu ketertiban umum. Umpama, menutup jalan sehingga macet. Terus mendobrak pintu dan merobohkan pagar. Orang yang menyampaikan pendapat juga memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan umum,” tambahnya.
Suherman, praktisi hukum menyebut, pernyataan kepolisian terkait unjuk rasa itu tak berizin keliru.
“Iya itu keliru, tidak ada satu dokumen hukum pun yang mengatakan unjuk rasa ada izin. Yang ada hanya pemberitahuan,” katanya.
Menurutnya, ketentuan aksi unjuk rasa telah diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Di UU itu, pelaku unjuk rasa tidak perlu meminta izin untuk melakukan aksinya. Cukup hanya dengan pemberitahuan secara tertulis ke kepolisian minimal tiga hari sebelum aksi berlangsung.
Aksi unjuk rasa hanya tidak boleh dilakukan di sejumlah tempat yakni rumah sakit, instalasi militer, tempat ibadah, pelabuhan udara dan laut, stasiun angkutan darat, dan objek vital nasional.
“Jangan ada dikriminalisasi terhadap pendemo karena mereka menjalankan amanat konstitusi yang mestinya di lindungi,” tuturnya.
Ia melanjutkan, kantor polisi juga bukan merupakan objek vital nasional. Oleh sebab itu, siapa pun boleh melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor polisi. Seperti yang terjadi di Mapolres Jakarta Barat 2020 lalu.
Telebih, uraian mengenai objek vital telah tertuang dalam Peraturan Kapolri (Perkap) nomor 7 tahun 2012.
“Di situ tak ada menyebutkan kantor polisi, kalau mau ditafsirkan kembali maka dilihat dari dampaknya. Apabila tempat itu dilakukan demo bisa stagnan atau tidak berjalan pemerintahan? Saya rasa tidak masuk, secara aturan maupun praktik,” lanjut Suherman.
Baca juga: Unjuk Rasa Ricuh, Polresta Barelang Sebut Aksi Massa Tak Berizin
Sebelumnya diberitakan, Kepolisian Resor Kota (Polresta) Barelang, Kota Batam Kepulauan Riau, menyebut unjuk rasa di depan kantornya tidak berizin, Senin (20/03) siang.
Saat aksi berlangsung terjadi kericuhan antara aparat dengan massa, sehingga beberapa orang diamankan polisi.
Kasatreskrim Polresta Barelang, Kompol Budi Hartono menilai, unjuk rasa oleh nasabah Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Karya Bhakti dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) itu dipicu dari ketidakpuasan terhadap penanganan perkara penggelapan uang di KSP Karya Bhakti.
Kemudian mereka menggelar unjuk rasa di depan Polresta Barelang tanpa izin dan rekomendasi dari Satuan Intelijen. “Pertama tidak memiliki izin dari Intel. Tapi ada pemberitahuan. Kalau tidak ada rekom, kita berhak untuk membubarkan,” tambah Kompol Budi Hartono.
Selain itu, pihaknya menilai unjuk rasa menganggu aktivitas di Polresta Barelang karena berada di jam operasional atau jam kerja.
“Kedua, inikan polres fasilitas umum dan jam operasional sangat menganggu. Ini bukan tempat demo. Kalau mau demo bukan di sini,” tuturnya.
Oleh sebab itu, pihak kepolisian mengamankan dua orang mahasiswa yang diduga sebagai pimpinan aksi tersebut.
“Kita ambil keterangan dulu. Waktu kita bubarkan memang ada kontak fisik,” lanjutnya. (*)
Ikuti Berita Lainnya di Google News