Bisnis  

Pengembangan Industri Sabut Kelapa di Selayar Mulai Dilirik

Sabut kelapa yang sudah diolah (Foto: Istimewa)

Jakarta – Pengembangan industri sabut kelapa di Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan mulai dilirik untuk meningkatkan devisa.

Pengembangan itu didukung Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia (AISKI) sangat mendukung rencana Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin (Unhas) bekerjasama Bank Indonesia (BI) Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan untuk melakukan penelitian terkait hilirisasi produk kelapa dan turunannya.

Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal AISKI, Ady Indra Pawennari usai melakukan pembicaraan secara virtual dengan Bram Alhaqqi, Peneliti Fakultas Pertanian Unhas terkait prospek pasar cocofiber dan cocopeat di dalam dan luar negeri, Minggu (27/06).

Berdasarkan data Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Kabupaten Kepulauan Selayar, jumlah produksi buah kelapa Kabupaten Kepulauan Selayar tahun 2020 mencapai rata-rata 65.701 butir per hari. Sementara standar untuk mendirikan sebuah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Sabut Kelapa harus tersedia bahan baku minimal 16.000 butir per hari.

“Potensinya luar biasa. Jika sabut kelapanya diolah, bisa menghasilkan cocofiber dan cocopeat kualitas ekspor sekitar 16 ton per hari. Jika diuangkan nilainya sekitar Rp35 juta per hari atau Rp1,050 Miliar per bulan. Nah, ini potensi pendapatan yang terbuang selama ini. Karena itu, kami sangat mendukung potensi ini dikelola sebagai sumber devisa baru,” katanya.

Pria peraih anugerah Pahlawan Inovasi Teknologi Tahun 2015 ini, mengapresiasi kejelian Fakultas Pertanian Unhas dan BI Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan dalam melihat potensi ekonomi yang belum tergarap dan diharapkan mampu berkontribusi dalam pemulihan ekonomi di daerah, khususnya di Kabupaten Kepulauan Selayar.

“Dulu, industri sabut kelapa di Indonesia hanya mengandalkan produk cocofiber sebagai penghasil devisa. Tapi, hari ini, cocopeat yang selama ini hanya dianggap sebagai limbah, malah laris manis di pasar ekspor sebagai media tanam dan alas tidur hewan ternak,” jelas Ady.

Setiap butir sabut kelapa rata-rata menghasilkan serat sabut kelapa atau dalam perdagangan internasional disebut cocofiber sebanyak 0,15 kilogram, dan serbuk sabut kelapa atau cocopeat sebanyak 0,39 kilogram. Harga penjualan cocofiber di pasar dalam negeri berkisar Rp 2.000 – Rp 3.000 per kilogram, dan cocopeat berkisar Rp 1.500 – Rp 2.500 per kilogram.

Sabut kelapa pada sebagian masyarakat pesisir Indonesia adalah sampah yang harus dimusnahkan, dibuang dan dibakar pada saat musim kemarau. Namun demikian, di tangan orang-orang kreatif, sabut kelapa yang tidak berguna tersebut dapat diolah menjadi bahan industri yang bernilai ekonomi tinggi.

Di negara-negara maju, cocofiber banyak digunakan sebagai pengganti busa dan bahan sintetis lainnya. Misalnya, untuk bahan baku industri spring bed, matras, sofa, bantal, jok mobil, karpet dan tali. Sementara cocopeat lebih banyak digunakan sebagai media tanam pengganti tanah, pupuk organic dan alas tidur hewan ternak.

Pasar ekspor cocofiber dari Indonesia, masih didominasi China. Sementara cocopeat, pasarnya lebih luas. Selain China, beberapa negara yang menjadi tujuan ekspor cocopeat Indonesia adalah Korea Selatan, Jepang, Brunei, Belanda, Canada, Italia dan Israel. (*)

Pewarta : MD Yasir
Redaktur : Muhammad Bunga Ashab