Penjelasan Kejagung  Hebohnya Pemberitaan Korupsi di Bawah Rp50 Juta Cukup Kembalikan Kerugian Negara

Kejagung Periksa 6 Saksi Kasus Dugaan Korupsi Garuda Indonesia
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak (Foto: Puspenkum)

Jakarta – Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) memberikan penjelasan terkait pemberitaan korupsi Rp 50 juta cukup kembalikan kerugian negara.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menyampaikan, bermula pada Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI, Senin 17 Januari 2022, beberapa Anggota Komisi III DPR RI memberikan pertanyaan kepada Jaksa Agung (JA).

Saat itu, Anggota Komisi III DPR RI Bapak Benny K. Harman dan Supriansa yang pada pokoknya menyampaikan kepada Jaksa Agung RI agar kasus di bawah Rp1 juta tidak diproses dan lebih baik memproses kasus besar daripada kasus kecil. Kemudian kasus dana desa yang kerugian nilainya sedikit, lebih baik membuat terobosan pengembalian uang (kerugian negara) daripada memenjarakan orangnya, alasanbya menimbang biaya perkaranya lebih besar daripada kerugian negara, mulai proses penyelidikan/penyidikan hingga yang bersangkutan menjalani hukuman di dalam lembaga pemasyarakatan.

Kata Leonard, atas kedua pertanyaan tersebut, Jaksa Agung RI memberikan penjelasan bahwa terhadap perkara-perkara Dana Desa yang kerugiannya tidak terlalu besar dan perbuatan tersebut tidak dilakukan secara terus menerus (keep going) maka diimbau untuk diselesaikan secara administratif dengan cara mengembalikan kerugian tersebut dan terhadap pelaku dilakukan pembinaan melalui Inspektorat untuk tidak mengulangi perbuatannya.

Selanjutnya, kata dia, Jaksa Agung menjelaskan, terkait perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara Rp1.000.000, sesuai data yang kami terima, terdapat 1 (satu) penyidikan yang dilakukan oleh Pomlresta Pontianak dalam perkara Pungutan Liar (Pungli) yang melibatkan seorang wasit dengan nilai Rp2.200.000 dan saat ini perkara tersebut masih dalam tahap Pra-Penuntutan di Kejaksaan Negeri Pontianak.

“Perkara tersebut tidaklah berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun terkait dengan upaya pemberantasan pungutan liar (saber pungli). Oleh Karenanya penanganannya diharapkan dilakukan secara profesional dengan memperhatikan hati nurani dan/atau menggunakan instrumen lain selain Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” kata Leonard dalam keterangan tertulisnya.

Sedangkan untuk perkara Tipikor yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, Kejagung telah memberikan imbauan kepada jajaranya untuk tindak pidana korupsi yang kerugian keuangan negaranya di bawah Rp50.000.000 untuk diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana dan biaya ringan.

Adapun penjelasan di atas, merupakan respons Jaksa Agung RI dan imbauan yang sifatnya umum untuk menjadi pemikiran bersama dan diperoleh solusi yang tepat dalam penindakan tindak pidana korupsi yang menyentuh baik pelaku dan masyarakat di level akar rumput, yang secara umum dilakukan karena ketidaktahuan atau tidak ada kesengajaan untuk menggarong uang negara, dan nilai kerugian keuangan negaranya pun relatif kecil.

“Seperti misalnya, seorang Kepala Desa tanpa pelatihan tentang bagaimana cara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, ia harus mengelola dana desa senilai Rp1 Miliar untuk pembangunan desanya,” katanya.

Baca juga:  Kejagung Usut Dugaan Korupsi Asuransi Taspen Senilai Rp161 Miliar

Hal ini tentunya akan melukai keadilan masyarakat, apabila dilakukan penindakan tindak pidana korupsi padahal hanya sifatnya kesalahan administrasi, misalnya kelebihan membayar kepada para tukang atau pembantu tukang dalam pelaksanaan pembangunan di desanya dan nilainya relatif kecil serta Kepala Desa tersebut sama sekali tidak menikmati uang-uang tersebut.

Oleh karena itu, Jaksa Agung RI menghimbau untuk dijadikan renungan bersama bahwa penegakan hukum tindak pidana korupsi pun harus mengutamakan nilai keadilan yang substantif selain kemanfaatan hukum dan kepastian hukum.

“Upaya preventif pendampingan dan pembinaan” terhadap Kepala Desa oleh jajaran Kejaksaan atau inspektorat kabupaten/kota, menjadi hal yang sangat penting dan prioritas,” ujarnya.

Selain itu, upaya penyadaran kepada pelaku untuk secara sukarela mengembalikan kerugian keuangan negara yang timbul akibat perbuatannya merupakan hal-hal yang meringankan apabila pengembalian kerugian keuangan negara dilakukan pada tahap penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di persidangan.

Kejaksaan mengapresiasi, jika terduga pelaku telah mengembalikan secara sukarela, ketika tim inspektorat telah turun dan menemukan kerugian keuangan negara sebelum tindakan penyidikan dilakukan oleh aparat penegak hukum, dan perkara itu sifatnya kesalahan administratif serta kerugian keuangan negara yang timbul juga relatif kecil.

“Untuk perkara yang model inilah Jaksa Agung RI wacanakan dalam bentuk imbauan untuk ditangani dengan menggunakan instrumen lain selain instrumen undang-undang tindak pidana korupsi,” katanya.

Imbauan Jaksa Agung RI bukanlah untuk impunitas pelaku tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara yang relatif kecil, tetapi wacana itu dibuka untuk dibahas ke publik agar penindakan tindak pidana korupsi pun berdasarkan pemikiran yang jernih atas hakikat penegakan hukum itu sendiri, yaitu pemulihan pada keadaan semula.

Kemudian, terkait perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara di bawah Rp1.000.000, perkara tersebut tidaklah berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun terkait dengan upaya pemberantasan pungutan liar (saber pungli).

Oleh karenanya, Jaksa Agung RI menyampaikan pada saat di DPR RI agar penanganannya diharapkan dilakukan secara profesional dengan memperhatikan hati nurani dan/atau menggunakan instrumen lain selain Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Selanjutnya, Jaksa Agung RI juga menyampaikan untuk perkara tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, Kejaksaan Agung telah memberikan imbauan kepada jajarannya untuk tindak pidana korupsi yang kerugian keuangan negaranya di bawah Rp50.000.000 agar diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana dan biaya ringan.

Sedangkan pandangan terkait analisis nilai ekonomi dalam tindak pidana korupsi juga perlu menjadi perhatian aparat penegak hukum dimana dapat dibayangkan korupsi Rp 50.000.000 harus ditangani oleh aparat penegak hukum (dari penyidikan sampai dengan eksekusi) dengan biaya operasional penanganan perkara yang dikeluarkan oleh Negara bisa melebihi dari Rp50.000.000 dari kerugian negara yang ditimbulkan tersebut.

“Hal ini akan menjadi beban pemerintah seperti biaya makan, minum dan sarana lainnya kepada terdakwa apabila terdakwa tersebut diproses sampai dengan eksekusi (di Lembaga Pemasyarakatan).”

“Artinya, analisis cost and benefit penanganan perkara tindak pidana korupsi juga penting menjadi pertimbangan dalam rangka mencapai nilai keadilan masyarakat dan nilai kemanfaatan hukum,” kata Leonard. (*)