Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) : Menjawab Kebutuhan Ruang Hijau Atau Hanya Sekedar Kosmetika Perkotaan?

Syamsinar Noviyati Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Universtas Maritim Raja Ali Haji

Masalah lingkungan hidup khususnya di perkotaan dari waktu ke waktu terus meningkat dan kompleks. Berbagai permasalahan muncul dan satu sama lain saling memiliki keterkaitan antara lain polusi udara dan kenaikan suhu yang disebabkan oleh meningkatnya kabon di udara. Bertambahnya karbon yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia diperparah dengan tingkat penyerapan yang rendah.  Banjir di musin hujan dan kekeringan di musim kemarau cukup ironi namun selalu datang silih berganti. Fenomena alam diatas merupakan bukti nyata dari perubahan iklim akibat pemanasan global sehingga diperlukan usaha untuk menanggulanginya. Hasil penelitian Effendy (2007) mengungkapkan kaitan Ruang terbuka Hijau (RTH) dengan suhu udara perkotaan menggambarkan bahwa RTH mampu meredam suhu udara perkotaan ketika keberadaannya memiliki luas lebih dari 28% dari luas wilayah kota. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah lingkungan hidup di perkotaan adalah melalui penyediaan ruang terbuka hijau perkotaan.

Pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyediaan ruang terbuka hijau perkotaan antara lain Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung,  Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2005 tentang pelaksanaan Undang – Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung,  Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia  Nomor 1 tahun 2017 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia  Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Substansi dari keseluruhan peraturan perundang undangan diatas bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) memiliki peran dan fungsi penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan hidup utamanya di kawasan perkotaan. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, 2007). Definisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) seperti diuaraikan diatas memiliki 2 (dua) komponen utama yang tidak terpisahkan yaitu ruang terbuka dan tanaman atau vegetasi. Penjelasan lebih lanjut dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) khususnya di kawasan perkotaan merupakan satu hamparan yang berisi tanaman untuk memberikan fungsi ekologis, sosial, budaya, ekonomi, dan estetika dengan memperhatikan potensi unsur unsur alami yang ada dalam lokasi ruang terbuka hijau itu sendiri.

Mewujudkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sehingga memberikan manfaat ekologis, sosial, budaya, ekonomi, dan  estetika antara lain melalui penyediaan Ruang terbuka Hijau (RTH) Publik yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum antara lain, adalah taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai.  Penyediaan ruang terbuka hijau publik yang disediakan oleh pemerintah daerah dimaksudkan agar proporsi ruang terbuka hijau minimal (20% dari luas wilayah kota) dapat  lebih dijamin pencapaiannya sehingga memungkinkan pemanfaatannya secara luas oleh masyarakat. Ruang terbuka hijau publik diharapkan dapat lebih menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.

Pemerintah Kota Tanjungpinang melalui Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 10 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tanjungpinang Tahun 2014 – 2034 maupun dalam Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 3 Tahun 2018 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kecamatan Tanjungpinang Kota, Tanjungpinang Barat, Tanjungpinang Timur dan Bukit Bestari Tahun 2018 – 2038 mengamanatkan penyediaan ruang terbuka hijau.  Ruang terbuka hijau (RTH) kota dikembangkan dan dikelola untuk memenuhi proporsi minimum 30% (tiga puluh persen) dari luas wilayah darat yang tersebar di seluruh kecamatan di wilayah Kota Tanjungpinang meliputi: a. RTH publik; dan b. RTH privat (Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 10 Tahun 2014, 2014).  Pemerintah Kota Tanjungpinang telah mengatur Ruang Terbuka Hijau (RTH) baik Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik maupun privat.  Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik dalam hal ini taman kota diatur  dengan mengedepankan tersedianya fungsi-fungsi ekologis yang cukup dan ruang terbuka hijau yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kebijakan pemerintah maupun pemerintah kota melalui peraturan perundang undangan diatas ironinya dalam implementasi masih terdapat kesenjangan. Salah satu yang dapat kita lihat adalah penataan kawasan gurindam 12 yang berada di tepi laut dengan memanfaatkan lahan reklamasi. Lokasi dimaksud dalam Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 3 Tahun 2018 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kecamatan Tanjungpinang Kota, Tanjungpinang Barat, Tanjungpinang Timur dan Bukit  Bestari Tahun 2018 – 2038 diperuntukkan untuk ruang terbuka hijau. Jika kita meninjau kembali definisi Ruang Terbuka Hijau sebagaimana diuraikan sebelumnya yaitu Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam maka melihat kondisi saat ini cukup mencengangkan. Pemandangan yang terlihat pada area yang telah dibangun hanyalah hamparan beton yang menutupi area reklamasi dan terdapat beberapa pohon yang ditanam. Taman yang berada disekitarnya, dimana telah dibangun sebelum penataan kawasan gurindam 12 terlihat “terkucilkan” dengan kehadiran “plaza” yang berada tepat di depan gedung daerah tersebut.  Meskipun penataan gurindam 12 belum selesai namun cukup memberi kesan “cantik” dengan kehadiran hamparan beton dengan  sentuhan aristektur sehingga terlihat tidak monoton dan ditengahnya terdapat “tugu daun sirih” sebagai landmark kota, serta kerlap kerlip lampu hias pada malam hari membuat kita berdecak kagum. “Kecantikan” area ini dinikmati oleh berbagai kalangan masyarakat di Kota Tanjungpinang khususnya sebagai ruang rekeratif, ruang olah raga, terjalinnya interaksi sosial budaya bahkan fungsi ekonomi juga muncul dengan kehadiran pedagang kaki lima.

Hadirnya aktivitas pada kawasan “baru” ini menggambarkan fungsi RTH publik dari sisi esktrinsik (tambahan) yaitu sebagai pembentuk estetika kota dan hadirnya  ruang sosial budaya ekonomi bagi masyarakat Kota Tanjungpinang khususnya.  Eforia ini sedikit melupakan fungsi intrinsik (fungsi utama) dari ruang terbuka hijau yaitu fungsi ekologis antara lain sebagai paru paru kota, pengatur iklim mikro, peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyerap polutan, dan penahan angin. Idealnya, Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik dapat lebih menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Kecantikan penataan gurindam 12 sepatutnya  tidak mengabaikan fungsi utama dari ruang terbuka hijau yaitu fungsi ekologis.

Kesan yang didapat adalah kebijakan yang cenderung pada upaya mempercantik kota dengan mengabaikan pentingnya kehadiran ruang terbuka hijau bagi kelangsungan kehidupan perkotaan ditengah terpaan berbagai permasalahan yang telah dikemukan sebelumnya.  Kebijakan pemerintah daerah membangun ruang terbuka hijau diatas lahan reklamasi sekilas terlihat merupakan upaya nyata konservasi lingkungan. Namun, dalam perjalanannya seperti sebuah ilusi dimana lebih mengedepankan kosmetika perkotaan. Kondisi ini mengingatkan saya pada sebuah artikel yang ditulis oleh Michael R. Redclift dalam artikelnya yang berjudul The transition out of carbon dependence: the crises of environment and markets bahwa ada perubahan fase dalam penerapan pembangunan berkelanjutan oleh para kapitalis yaitu dari fase ekploitasi alam  memasuki “fase ekologis” namun dalam pandangan penganut paham realisme kritis bahwa itu hanya ilusi dan dikedepankan untuk motif ekonomi.  Terlepas dari pendapat tersebut, yang terpenting adalah bagaimana ruang terbuka hijau yang telah dan akan dibangun dapat menghadirkan fungsi ekologis untuk membantu penyerapan carbon melalui proses fotosintesis yang hanya dapat dilakukan oleh tanaman, bukan oleh beton. Penataan Gurindam 12 belum selesai, harapannya kelanjutan penataan dapat lebih mengedepankan fungsi ekologis pada kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dibangun diatas lahan reklamasi tersebut mengingat pentingnya kehadiran Ruang Terbuka Hijau (RTH) di tengah meningkatnya aktivitas perkotaan. Manfaat ekologis ruang hijau dapat dirasakan pada beberapa lokasi yang masih mempertahankan fungsi ruang hijau yang ada di Kota Tanjungpinang.

Suasana Kota Tanjungpinang di beberapa  lokasi ruang terbuka hijau seperti sekitar Taman Bintan Bestari, Hutan Kota Lapangan Tembak Jalan Soekarno Hatta, Kawasan sekitar Lantamal Jalan Yos Sudarso dengan kehadiran tanaman peneduh mampu meredam suhu minimal sekitar area tersebut dan menghadirkan kota yang hijau. Potensi ruang hijau yang ada perlu dijaga agar tetap lestari ditengah pesatnya pembangunan perkotaan. Beberapa pendapat ahli mengingatkan kita akan pentingnya ruang terbuka hijau antara lain (Ernawi 2012) bahwa  konsep Kota Hijau muncul dilatarbelakangi pertumbuhan kota yang begitu cepat dan mengakibatkan permasalahan perkotaan seperti berkurangnya luasan ruang terbuka hijau serta fenomena perubahan iklim. Konversi lahan dari RTH menjadi lahan terbangun mengakibatkan munculnya fenomena Urban Heat Island (UHI) di kawasan perkotaan dimana Zhou et al. (2011) menegaskan bahwa persentase penutupan vegetasi merupakan faktor terpenting untuk mengurangi efek UHI (Hayati, Sitorus, & Nurisjah, 2013).

Selanjutnya hasil penelitian Bowler et al. (2010) membuktikan bahwa suhu udara di bawah pohon lebih rendah daripada di area terbuka. Penyediaan RTH merupakan bagian dari mitigasi pemanasan global sehingga dipandang sebagai salah satu upaya penanganan terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca khusunya gas CO2 yang paling implementatif dibandingkan cara lainnya. Selain itu fungsinya sebagai pengendali kualitas udara memiliki manfaat sebagai sumber peningkatan cadangan oksigen dan memperbaiki iklim mikro di kawasan perkotaan (KBoroko, & Rawung, 2015).  Menurut Grey dan Deneke ( 1986), sinar matahari yang sarnpai ke perrnukaan bumi mengalarni proses refleksi, transmisi clan absorbsi. Pulau panas pada umumnya terdapat pada bagian wilayah kota tidak bervegetasi, karena pada wilayah kota tidak bervegetasi ketiga proses tersebut saling bersinergi dalam meningkatkan suhu udara (Lingklingan & Semarang, 2008). Fenomena pemanasan global, banjir, kekeringan, naiknya permukaan air laut yang kian nyata hadir di tengah tengah kita seharusnya meningkatkan kesadaran bersama akan pentingnya mewujudkan ruang terbuka hijau perkotaan yang mampu memberikan manfaat ekologis, disamping manfaat lainnya yang tidak menjadi penghalang atau mengabaikan manfaat utama dari ruang terbuka hijau.

Kebijakan penyediaan ruang terbuka hijau harus dapat diimplementasikan dengan tepat agar tujuan dari kebijakan tersebut dapat tercapai. Kesenjangan antara kebijakan dan implementasi dari kebijakan tersebut akan berdampak luas tidak hanya bagi generasi sekarang namun juga akan dirasakan oleh generasi berikutnya. Tujuan pembangunan berkelanjutan yang selalu disuarakan baik oleh kalangan pemerintahan maupun masyarakat umum tidak sekedar slogan namun harus diupayakan dalam bentuk nyata. Pemerintah baik pusat dan daerah sebagai regulator juga merupakan operator dalam penyediaan ruang terbuka hijau publik khususnya pemerintah kota. Evaluasi dan penataan kembali fungsi ruang terbuka hijau publik terutama untuk mengembalikan fungsi ekologis patut segera dilakukan. Upaya mempercantik wajah kota sepatutnya tidak mengabaikan fungsi ekologis dari ruang terbuka hijau publik.

Penulis
Syamsinar Noviyati
Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan
Universtas Maritim Raja Ali Haji