Perempuan Demokrat Bukan Pelengkap

Perempuan Demokrat Bukan Pelengkap. (Foto: Fara Verwey)

Perempuan kuat. Perempuan berdaya. Itu mantra yang selalu saya rapal tiap sebelum memulai hari. Perempuan boleh patah hatinya, boleh menetes air matanya, boleh mengeluhkan lelahnya, tapi selalu mampu bangkit kembali, berdiri kembali, berkegiatan lagi.

Terlahir sebagai perempuan bukan berarti sepaket dengan kelemahan, ketakberdayaan, dan keterbatasan. Tak terhitung dengan jari jumlah perempuan yang ikut berperan dalam memutar gerigir roda kemerdekaan di masa perjuangan. Mereka, perempuan-perempuan kuat itu, telah membuktikan peran kaum hawa lebih dari stigma jahat: dapur dan kasur.

Selain pada mama, pada perempuan-perempuan hebat Indonesia itu saya mengunduh inspirasi. Dari mereka saya belajar berani dan berbuat itu juga hak perempuan. Tanpa terkecuali.

Maka, bukan main girang hati ketika pemerintah pada akhirnya menerbitkan Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Di situ dinyatakan bahwa minimal harus ada 30 persen keterwakilan perempuan dalam pendaftaran calon anggota legislatif. Itu, biarpun angka kecil, adalah langkah konkret betapa negara mulai memerhatikan hak-hak perempuan dalam berbagai bidang, termasuk bidang politik yang selama ini erat kaitannya dengan kaum laki-laki semata.

Apa yang bisa dilakukan kaum perempuan di bidang politik? Ini pertanyaan yang, sebenarnya bagi saya, amat mudah dijawab. Saya bisa membuat daftar panjang perempuan-perempuan negeri ini yang memainkan peran signifikan di bidang politik. Dari zaman revolusi hingga reformasi. Tak bisa sedikitpun menyingkirkan peran perempuan di sana.

Akan tetapi, daftar panjang itu tentu akan mudah didapat dalam bermacam referensi sejarah. Maka izinkan saya bercerita tentang seorang perempuan yang lebih dari 10 tahun hidupnya terakhir diabdikan dalam kerja-kerja politik di Tanjungpinang.

Perempuan yang membuat jagat politik di Tanjungpinang lebih dinamis, lebih hidup, lebih berwarna. Karena selalu ada lapisan-lapisan pemikiran yang tak pernah terjamah laki-laki dan hanya dipahami oleh kaum perempuan itu sendiri.

Nama politikus perempuan itu Pepy Candra, saya memanggilnya Kak Pepy. Seorang ibu tiga anak yang tidak pernah ingkar kodrat dari keperempuanannya dan tetap sempat menyisihkan waktu mengabdikan diri untuk masyarakatnya, lewat kerja-kerja politiknya, dan bahkan sekalipun kini ia sudah tidak lagi menjabat sebagai anggota legislatif. Kak Pepy menunjukkan bahwa bukanlah jabatan yang menggerakkan, melainkan tekad untuk tidak diam saja dan mengambil peran.

“Kalau ada orang minta tolong sama kita, masa kita tak bantu. Selagi masih bisa, kenapa tidak kita selalu mengupayakannya,” begitu Kak Pepy pernah bercerita pada saya.

Semula, banyak yang mengira bahwa keterlibatan Kak Pepy dalam Partai Demokrat, partai politik yang menaunginya, sebatas karena mengikut suaminya yang pengurus partai. Kak Pepy cuma diangkap pelengkap, disangka penggembira. Ia menerima tudingan itu dan bertekad membuktikan bahwa segala yang dipikirkan orang-orang itu keliru semua.

Sudahlah tidak perlu membahas bagaimana proses di balik keterpilihan Kak Pepy pada Pemilu 2014 lalu sebagai anggota legislatif dari Partai Demokrat di DPRD Tanjungpinang. Walau itu sebenarnya sudah jadi bukti senyata-nyatanya bahwa ia dalam kepengurusan partai tidak duduk manis belaka.

Mari kita tengok bagaimana Kak Pepy menggelorakan keterlibatan partisipasi perempuan dalam jajaran kepengurusan DPC Partai Demokrat Tanjungpinang pimpinannya. Sebagai pemegang komando tertinggi di level kota, Kak Pepy menarik banyak minat kaum perempuan tergabung dalam barisannya. Sudah bukan barang asing lagi tiap acara Partai Demokrat di Tanjungpinang selalu terlihat keterlibatan perempuan di sana.

Kak Pepy tanpa ba-bi-bu menunaikan amanat Partai Demokrat bahwa jika “Bersama Kita Kuat, Bersatu Kita Bangkit”—sebuah moto dari Pak SBY yang jadi pedoman seluruh kader partai berlambang bintang merci ini. Untuk itulah Kak Pepy lantas menghidupkan sekaligus membina organisasi saya partai seperti Perempuan Demokrat dan Srikandi Demokrat. Masih ditambah pula barisan muda-mudi yang selalu siap sedia kala dibutuhkan dalam kerja-kerja politik dan pengabdian Partai Demokrat.

Orang menyangka setelah tak menjabat, Kak Pepy akan duduk manis di rumah. Ternyata tidak. Bahkan situasi pandemi pun bukan alasan yang dijadikannya tidak melakukan apa-apa. “Justru inilah momentum ketika harus saling bantu meringankan beban sesama,” kata Kak Pepy.

Maka dia bersama perempuan-perempuan di Partai Demokrat Tanjungpinang menginisiasi gerakan Jumat Berbagi. Setiap pekan sekali, mereka hadir ke jalan, ke tengah-tengah masyarakat, berbagi segala yang diperlukan. Mulai dari kebutuhan sehari-hari sampai keperluan kesehatan.

Program ini bahkan sudah dimulai sejak jauh-jauh hari sebelum Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mendeklarasikan Bulan Bakti bersempena ulang tahun ke-20 Partai Demokrat.

“Kalau perlu, selepas Bulan Bakti pun program Jumat Berbagi ini tidak boleh terhenti. Bahkan kalau ketuanya juga sudah bukan lagi Kak Pepy. Karena memang sudah jadi jati diri Partai Demokrat yang peduli dan beri solusi,” kata Kak Pepy.

Kalau selama ini perempuan-perempuan hebat di bidang politik saya pelajari dan kenali lewat buku dan tontonan, kini bertambah satu yang nyata di depan mata d kota saya. Aktivisme politik Kak Pepy bersama Partai Demokrat mendobrak tabu stigma perempuan sebagai pelengkap. Yang ada, di Tanjungpinang, justru Kak Pepy dkk malah ikut mewarnai kancah politik yang dominan oleh kaum laki-laki.

Seabad lalu, pernah ada Engku Puteri Hamidah, perempuan ranggi dalam kancah politik kesultanan Riau-Lingga. Jika spirit itu berlangsung sampai hari ini, bukan suatu kebetulan. Sama sekali bukan.*

Pewarta: Fara Verwey
Redaktur: Albet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *