Bintan, Ulasan.co – Permasalahan penetapan hutan lindung Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau sampai sekarang belum selesai, meski ribuan warga yang merasa menjadi korban dari kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut sudah melaporkannya kepada pemerintah pusat.
“Kami masih terus berjuang bebaskan lahan kami dari kawasan hutan,” kata Ihsan, salah seorang pengurus Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA) di Tanjungpinang, Selasa.
Organisasi itu didirikan untuk mengakomodir seluruh aspirasi warga yang menjadi korban setelah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 76/2015 diberlakukan di Bintan.
Jumlah warga yang menjadi akibat penetapan kawasan hutan lindung secara sepihak itu lebih dari seribu orang. Lahan milik warga, yang pada akhir tahun 2019 baru diketahui ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung itu, mencapai ribuan hektar lebih.
Lahan tersebut berada di-enam kecamatan di Bintan yakni Kecamatan Teluk Sebong, Sri Koala Lobam, Toapaya, Gunung Kijang, Bintan Utara dan Teluk Bintan.
Warga tidak hanya memiliki serfitikat dan alas hak terhadap lahan yang dikuasai, melainkan membayar pajak.
“Kami minta pemerintah daerah dan pusat membuka mata dan telinga, apakah sudah benar secara sepihak menetapkan lahan yang sudah dikuasai sejak puluhan tahun lalu menjadi kawasan hutan,” ucapnya.
Pengurus AMPERA lainnya, Nurcholis, minta pemerintah memanusiakan warga yang dirugikan akibat penetapan hutan tersebut. Warga terus berjuang, karena yang tinggal di hutan bukan manusia, melainkan hewan.
“Kami bukan monyet. Yang menyulap rumah kami, lahan yang kami kuasai menjadi hutan itu seharusnya lihat kami. Kami ini rakyat kecil, bukan seperti orang-orang kaya yang bisa menyulap hutan lindung menjadi lahan putih,” singgungnya.
Ia mengatakan AMPERA sudah melaporkan permasalahan ini kepada pemerintah pusat setelah tidak mendapatkan solusi dari Pemkab Bintan.
“Kami berharap pemerintah pusat memberikan solusi terbaik untuk masyarakat Bintan,” katanya.