Petugas IOM Tidak Berada di Penampungan Pengungsi

Tanjungpinang, Ulasan.Co – Organization for Migration atau Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dan United Nations High Commissioner for Refugees Provinsi Kepulauan Riau (UNHCR) tidak menempatkan petugasnya di Hotel Badra, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau tempat penampungan para pengungsi dari berbagai negara.

Kepala Satuan Intelijen Keamanan Polres Bintan, AKP Yudiarta Rustam, dalam Focus Group Discussion bertema “Mencari Solusi Permasalahan Pengungsi di Bintan”,
yang diselenggarakan Forum Masyarakat Peduli Kepri di aula Asrama Haji Tanjungpinang, Selasa, mengatakan, di Hotel Badra hanya dijaga oleh dua petugas dari Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Tanjungpinang.

“Petugas kepolisian secara rutin melakukan patroli di dalam tempat penampungan itu,” ujarnya.

Menurut dia, tidak mungkin dua orang petugas dapat mengawasi 455 orang pengungsi. Karena itu, ia berharap petugas dari IOM dan UNHCR berada di Hotel Badra sehingga kebutuhan para pengungsi dapat ditanggulangi.

“Ada laporan yang kami terima, petugas kerap diperlakukan tidak baik oleh beberapa pengungsi. Mereka menggertak petugas, dan mengganggu psikologis atau mental petugas,” tuturnya.

Selain itu, pemerintah daerah yang memiliki posisi penting dalam penanganan para pengungsi tersebut berdasarkan Peraturan Presiden 125/2016 semestinya mengerahkan petugas dari Satpol Pamong Praja untuk mengawasi dan mengamankan para pengungsi.

“Saya sudah sampaikan ini kepada pemerintah pusat dan daerah, tetapi ujung-ujungnya terbentur dengan anggaran,” katanya.

Yudiarta mengatakan permasalahan pengungsi perlu mendapat perhatian serius oleh seluruh pihak. Aktivitas sejumlah pengungsi yang akhir-akhir ini mengganggu warga lokal, sebaiknya ditangani mulai dari hulu hingga hilir, bukan secara sporadis.

“Sosialisasi peraturan kepada masyarakat, dan penguatan keimanan masyarakat perlu dilakukan,” katanya.

Kepala Divisi Imigrasi Kanwil Kemenkum HAM Kepri Ahmad Firmansyah, mengatakan, penanganan pengungsi seharusnya terintegrasi. Sejumlah daerah sudah membentuk satuan tugas khusus menangani permasalahan pengungsi seperti Surabaya, dan Sidoarjo. Makassar dalam waktu dekat juga sudah memiliki Satgas Pengungsi.

“Kepri belum ada. Kami berharap sebentar lagi ada,” ujarnya.

Narasumber lainnya, Ketua Fraksi PKS-PPP DPRD Kepri Ing Iskandarsyah, mengatakan, permasalahan itu harus segera diatasi mengingat berhubungan dengan kepentingan publik.

Salah satu upaya yang harus dilakukan yakni membuat peraturan gubernur dan peraturan bupati sehingga kebijakan pemerintah lebih terarah.

“Ini urusan kemanusiaan yang dipelototi dunia internasional, karena itu harus ditangani serius. Kalau tidak ada anggaran, maka harus dianggarkan dengan payung hukum yang kuat,” tegasnya.

Jumlah Pengungsi di Indonesia Meningkat Akibat Australia “tutup pintu”

Jumlah pengungsi di Indonesia meningkat dalam beberapa tahun terakhir disebabkan Australia mengeluarkan kebijakan “menutup pintu” bagi para pencari suaka itu.

Kepala Kantor Perwakilan United Nations High Commissioner for Refugees Provinsi Kepulauan Riau (UNHCR Kepri) Frangky Lukitama dalam Focus Grup Discussion yang diselenggarakan Forum Masyarakat Peduli Kepri di aula Asrama Haji Tanjungpinang, Selasa (25/6), mengatakan, para pengungsi tidak mendapat kepastian sampai kapan tinggal di Batam dan Bintan akibat kebijakan Pemerintah Australia tersebut.

Hal tersebut mengakibatkan jumlah pengungsi membludak di Batam dan Bintan.

“Australia merupakan salah satu negara yang menandatangani Konvensi Jenewa 1951,” ujarnya.

“Jika ada yang bertanya sampai kapan para pencari suaka itu tinggal di Hotel Badra yang merupakan ‘Comunity House”, jawabannya ya tidak tahu,” tambahnya.

Frangky menjelaskan negara tujuan para pengungsi bukan Indonesia, melainkan Australia. Para pengungsi ke Indonesia lantaran wilayah timur Indonesia berbatasan dengan Australia.

Batas waktu para pengungsi berada di Indonesia tidak dipatok. Para pengungsi ada yang sudah 1-5 tahun berada di Pulau Bintan. “Bahkan ada yang sudah 10 tahun di Tanjungpinang,” katanya.

Cara lain yang dilakukan yakni memulangkan para pengungsi tersebut ke negara asalnya. Namun itu sulit dilakukan, karena mereka banyak menolak.

“Untuk memulangkan ke negaranya harus dipastikan negaranya dalam kondisi aman,” katanya.

Narasumber lainnya, Kepala Divisi Imigrasi Kanwil Kemenkum HAM Kepri Ahmad Firmansyah, mengatakan, Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi para pengungsi dengan alasan kemanusiaan.

“Ada landasan hukum yang merupakan turunan dari konstitusi sebagai alasan Indonesia melindungi para imigran,” ujarnya.

Ahmad mengatakan tidak semua warga asing yang ditangani Imigrasi itu berstatus sebagai pengungsi dan pencari suaka.

Warga asing yang melakukan kejahatan di negaranya, seperti korupsi, tidak dapat dilindungi Pemerintah Indonesia.

“Jika ada, kemudian ditangkap, pasti dideportasi ke negaranya,” katanya.

Kepala Rumah Detensi Imigrasi Tanjungpinang Muhamad Yani Firdaus mengatakan jumlah pengungsi di Kepri mencapai 988 orang, sebanyak 455 orang tinggal di Hotel Badra, Bintan.

Jumlah pengungsi di Indonesia 13.500 orang. Di Kepri jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding wilayah lain.

“Jumlah pengungsi yang ada di Indonesia lebih sedikit dibanding negara lain, contohnya di Malaysia mencapai 1 juta orang,” ucapnya.

Bintan wacanakan pengungsi jadi guru ngaji

Pemerintah Kabupaten, Kepulauan Riau mewacanakan para pengungsi yang memiliki kemampuan mengaji direkrut untuk menjadi guru ngaji bagi anak-anak di sekitar Kecamatan Toapaya.

“Pengungsi yang memiliki kemampuan mengaji, dan memiliki keinginan untuk menjadi guru ngaji akan direkrut,” kata Camat Toapaya, Riang Anggraini, di Tanjungpinang, Rabu.

Riang menambahkan kegiatan itu untuk mengisi waktu para pengungsi, yang tidak diketahui sampai kapan tinggal di Hotel Badra, Kabupaten Bintan. Kegiatan positif itu pula sebagai upaya pemerintah untuk mencegah para pengungsi melakukan hal-hal negatif.

“Kami yakin masih banyak pengungsi yang bersikap baik,” katanya.

Wacana menjadikan sejumlah pengungsi sebagai guru ngaji itu juga disampaikan Riang dalam diskusi kelompok terpumpun bertema “Mencari Solusi Permasalahan Pengungsi di Bintan”, yang diselenggarakan Forum Masyarakat Peduli Kepri di aula Asrama Haji Tanjungpinang, kemarin.

Dalam diskusi yang dihadiri berbagai pihak terkait, terkuak negara dihadapkan dengan isu hak asasi manusia dan sikap asusila sejumlah pengungsi.

Riang mengatakan tidak semua pengungsi memiliki sikap negatif, terutama terhadap warganya. Namun sejumlah sikap asusila sejumlah pengungsi menyebabkan masyarakat berpikir bahwa seluruh pengungsi memiliki sikap yang sama.

Padahal cukup banyak para pengungsi yang bersosialisasi positif dengan warga sekitarnya. Mereka membangun komunikasi dengan baik, dan ikut membantu kegiatan yang diselenggarakan pihak kecamatan maupun warga.

“Sejak ada kasus asusila, memang terbangun opini, ada pro dan kontra di antara warga. Menurut kami, hanya beberapa saja pengungsi yang tidak baik,” ucapnya.

Kasat Intelkam Polres Tanjungpinang AKP Yudiarta Rustam mengatakan warga harus dibentengi dengan iman dan taqwa agar tidak tergoda dengan rayuan oknum pengungsi.

“Para pengungsi memang sebaiknya harus diberi kegiatan positif, dan aktivitasnya selama 12 jam sehari diawasi,” katanya.

Yudiarta mengemukakan jumlah kasus yang dilakukan para pengungsi sebanyak 11 kasus, sebagian besar terkait asusila.

“Ada istri orang yang berselingkuh dengan pengungsi. Bahkan ketika pengungsi itu dimasukkan ruang isolasi, perempuan tersebut yang berstatus dengan istri orang, membesuk dan memberi makanan kepada pengungsi tersebut. Ini ‘kan sudah kacau,” ucapnya.