Politik 4:1 Pemilu, Efektifkah?

Pemilu 2024 sudah di depan mata. Konsentrasi para politisi yang berupaya merebut kursi legislatif pun berada pada satu titik, bagaimana mereka dapat memastikan suara yang diperoleh pada 14 Februari mendatang, mencukupi.

Situasi di lapangan kini, misalnya, para politisi terutama calon petahana dan caleg yang memiliki modal beradu strategi dan kekuatan. Tentu, mereka mendadak menjadi “hamba” pemilih. Mendadak menjadi politisi yang peduli, dan pro rakyat.

Para politisi menyadari tidak mudah mendapatkan suara dari rakyat, apalagi hanya bermodalkan rayuan lisan. Mereka menyadari pemilu merupakan pesta rakyat.

Pemilih bak duduk di kursi singgasana, yang sedang dirayu oleh para pelayannya. Satu suara sangat berharga pada hari bersejarah di tempat pemungutan suara (TPS). Salah strategi berakibat fatal, yang dapat menurunkan elektabilitas.

Politisi yang berpengalaman paling tidak mengantongi dua hal yakni data identitas pemilih di wilayah daerah pemilihannya dan memetakan kebutuhan kelompok masyarakat. Mereka mengatur strategi dengan menggunakan data tersebut.

Pemetaan pemilih juga sebagai dasar dalam menyalurkan bantuan sosial dan uang, terutama di basis lawan. Ini bertujuan menjaga kantong suara agar tidak bocor.

Lawan politik para politisi bukan hanya dari eksternal partai, melainkan juga internal partai politik. Persaingan sengit pun terjadi di internal partai. Adu strategi dalam kampanye juga dilakukan di ceruk suara, tidak cukup dengan gambar caleg di spanduk dan baliho atau adu gagasan, melainkan juga penyaluran berbagai bantuan.

Bagi pimpinan partai politik, persaingan di internal partai sangat menguntungkan partai. Sebab persaingan itu dapat meningkatkan popularitas dan elektabilitas suara caleg dan partai untuk meraih kursi di lembaga legislatif.

Perhitungan suara dalam Pemilu Legislatif 2024 berdasarkan pada ambang batas (threshold) melalui metode Sainte Lague untuk penetapan kursi partai. Mengutip buku Panduan Menjadi Calon Anggota DPR/DPD/DPRD Menghadapi Pemilu susunan TA Legowo & Sebastian Salang, perolehan jumlah kursi DPR sekurang-kurangnya 3 persen, perolehan kursi DPRD Provinsi sekurang-kurangnya 4 persen atau ½ dari jumlah provinsi seluruh Indonesia, sementara DPRD Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 persen. Nanti, partai politik peserta Pemilu 2024 yang tidak berhasil mencapai ambang batas perolehan kursi akan ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2029.

Politik 4:1

Angka pada anak judul tersebut merupakan tahun setelah anggota legislatif terpilih. Angka itu diperoleh dari pengalaman kepemiluan yang dirasakan rakyat.

Politik 4:1 hanya sebuah istilah, yang ditujukan kepada para politisi yang tidak merawat rakyat di daerah pemilihannya. Bagi politisi yang bersabahat dengan pemilih setelah terpilih menjadi anggota legislatif, tentu politik 4:1 bukan sikapnya sehingga tidak tersinggung.

Di lapangan, sering sekali pemilih kecewa setelah memilih seseorang sebagai anggota legisltif. Pemilih ingin “main panjang” dengan caleg yang berhasil duduk sebagai anggota legislatif. Namun realitanya, mereka hanya dapat “main pendek”. Kondisi itu yang menyebabkan selama 4 tahun anggota legislatif tersebut seolah-olah menghilang, tidak kenal dengan konstituennya tersebut.

Setahun sebelum pemungutan suara tiba-tiba anggota legislatif itu muncul kembali di daerah pemilihannya. Ia mulai merayu pemilih yang selama ini merasa diabaikan. Dimulai dengan pembentukan tim.

Ya, ini bukan kerja mudah. Memang agak sulit mereka membujuk pemilih yang sudah disakiti, namun bukan berarti tidak bisa. Butuh energi besar untuk kembali bisa duduk, ngobrol dan memastikan pemilih mencoblos gambar dirinya di surat suara. Efektifkah?

Kalau dilihat dari jejak sejarah pemilu, maka Politik 4:1 relatif efektif. Sejumlah caleg petahana yang selama ini kinerjanya tidak jelas, sering mendapatkan kritikan dan tidak disukai pemilih, faktanya berhasil duduk kembali dengan meraup suara yang cukup signifikan.

Kenapa hal itu terjadi? Setahun sebelum pemungutan suara, mereka berhasil membilas persepsi negatif tersebut melalui hal-hal positif dan menguntungkan bagi pemilih.

Secara umum, ada pendapat yang menyebutkan bahwa rata-rata masyarakat itu pemaaf. Jika pendapat itu benar, maka secara politik tidak keliru para caleg petahana bersikap 4 tahun cuek, dan setahun kemudian membilasnya dengan mengatakan;
1. Maaf, selama ini saya sangat sibuk di kantor
2. Maaf, saya sudah ganti nomor ponsel
3. Maaf, saya lupa karena ada banyak hal yang harus diingat
4. Maaf, saya bukan lupakan, tetapi harus mengumpulkan uang supaya bisa membantu bapak-bapak dan ibu-ibu
5. Maaf, saya selama ini kurang peduli karena ada banyak hal yang harus diperioritaskan
6. Maaf…, maaf…, dan maaf…

Sebelum berselancar lebih jauh membaca artikel ini, ada baiknya kita telusuri penyebab terjadinya Politik 4:1. Banyak anggota legislatif juga tidak tahan melayani konstituennya. Semuanya berujung pada uang.

Setiap hari mereka menerima keluhan dari sejumlah orang, bahkan yang bukan konstituennya. Misalkan untuk biaya berobat, pendidikan, ke luar daerah dan biaya dapur. Jika diladeni, pendapatan anggota legislatif pun tidak cukup untuk memenuhi permintaan tersebut. Bahkan jika dituruti, anggota legislatif itu potensial terjerat kasus korupsi karena harus menghadapi biaya politik yang tinggi.

Ya, memang tidak semua konstituen berperilaku seperti itu. Beberapa pemilih tidak goyah terhadap godaan menjelang hari pemungutan suara. Mereka tetap memilih caleg petahana yang selama ini memperhatikan kampungnya. Pemilih rasional ini, tidak biasa bicara kepentingan personal, melainkan kepentingan yang lebih besar, yang memungkinkan dipenuhi anggota legislatif melalui dana aspiratif yang bersumber dari anggaran negara.

Nikolas Panama (Pendiri Ulasan Network)