Potret Tukang Becak Motor Pulau Penyengat Dihantam COVID-19

Becak motor, alat transportasi wisatawan yang menjadi salah satu sumber pendapatan bagi sejumlah masyarakat di Pulau Penyengat kini tak bisa lagi diharapkan. Tak sedikit tukang becak motor banting setir untuk mencari penghasilan lebih demi menafkahi keluarganya.

Pewarta: Muhammad Chairuddin, Tanjungpinang.

Becak motor merupakan satu-satunya mata pencaharian Kariman, salah seorang tukang ojek becak motor di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau (Kepri). Pundi demi pundi rupiah mulai terkumpulkan dari dompet wisatawan yang berkunjung.

Hal itu lah yang selama ini menghidupi Kariman dan keluarganya. Pria yang kini menginjak usia 52 tahun itu mengaku, telah menjadi seorang ojek becak motor di Pulau Penyengat sejak 20 tahun silam.

Sejak pagi hari, ia berangkat dari rumahnya menuju pangkalan para becak motor – halaman Masjid Raya Sultan Riau dan dermaga. Situs demi situs bersejarah menjadi saksi bisu dirinya saat membawa wisatawan menjelajah.

Kariman bercerita, sebelum masa pandemi, ia mampu memperoleh hasil dari jeri payahnya hingga Rp200 ribu per harinya. Hal itu lantaran banyaknya wisatawan mancanegara maupun lokal yang berkunjung ke pulau bersejarah itu.

“Ya sebelum pandemi bisa sampai Rp200 ribu. Karena ada orang dari luar kan. Singapura, Malaysia itu banyak juga,” jelasnya di Pangkalan Ojek Becak Motor Pulau Penyengat, Sabtu (07/08).

Dari hasil itulah ia mampu menghidupi satu istri dan satu anaknya yang masih menjadi tanggungjawabnya.

Bak berputar 180 derajat, di masa pandemi, Kariman kian kesulitan dalam memenuhi kebutuhan. Adanya pandemi sekaligus penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sangat berdampak pada penghasilannya.

“Ya sangat berkuranglah. Apalagi PPKM seperti ini. Pariwisata tidak ada. Orang datang pun tidak banyak bahkan tidak ada. Cari makan susah,” ucapnya.

Pria yang kerap disapa mamang itu, harus menghidupi satu istri dan satu anaknya. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya itu ia kerap kali beralih menjadi kuli angkut pasir di pulau Indera Sakti, julukan Pulau Penyengat tersebut.

Dalam sekali mengangkat pasir, ia hanya memperoleh Rp50 ribu. Kerja sampingannya itu pun, tidak ia jalani setiap hari. Mamang mengaku pekerjaan angkat pasirnya hanya bergantung pada panggilan orang-orang yang membutuhkan jasanya.

“Ya kadang saya bantu orang angkat pasir. Itu pun tidak tiap hari. Kalau dipanggil,” ujarnya lagi.

Bahkan menurutnya, ia kerap kali tidak mendapatkan hasil dalam satu hari.

Hanya becak motor hasil pemberian Wali Kota Tanjungpinang pada tahun 2012 silam, yang kini menjadi teman perjalannya dalam mencari nafkah.

Dalam satu kali membawa penumpang, mamang hanya mendapatkan upah senilai Rp30 ribu.

Mamang pun mengaku belum pernah menerima bantuan dari Pemko Tanjungpinang sejak adanya pandemi COVID-19.

“Dari wali kota belum dapat (bantuan). Tapi kalau dari angkatan laut atau yang lainnya sudah ada kemarin,” jelasnya.

Mamang berharap, pandemi COVID-19 cepat berlalu dan pemerintah dapat segera membuka sektor pariwisata seperti sebelumnya.

Hal senada juga dirasakan oleh ojek becak motor lainnya, Abdul Kahar. Pria berusia 64 tahun itu merasa kesulitan dengan minimnya pengunjung ke Pulau Penyengat. Baginya, ia dan seluruh becak motor hanya bergantung pada tamu yang berkunjung.

Baginya, cukup banyak rekan sesama ojek becak motor yang beralih profesi. Tidak sedikit pula dari mereka yang menjadi nelayan.

“Banyak juga yang melaut. Kalau saya ini sudah tidak bisa,” tuturnya.

Kini, becak motor milik sejumlah warga Pulau Penyengat hanya terparkir rapi di depan Masjid Raya Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang. Berharap, pandemi bisa berlalu. (*)

 

Redaktur: Albet