PP 54 Tahun 2017 dan Implikasinya terhadap Perbaikan BUMD

PP 54 Tahun 2017 dan Implikasinya terhadap Perbaikan BUMD
Winata Wira, S.E., M. Ec. Foto Istimewa

Penulis: Winata Wira, S.E., M. Ec
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH)

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dibentuk tidak lain untuk memaksimalkan potensi daerah. BUMD diperlukan karena dapat menjadi salah satu sumber pemasukan bagi keuangan daerah.

Pandangan seperti ini tidak sepenuhnya dapat disalahkan apalagi jika merujuk secara formal, tujuan pendirian BUMD adalah bermanfaat bagi perekonomian daerah, lalu kemanfaatan umum dan perolehan laba.

Pada prakteknya, sangat sedikit kiprah BUMD yang dapat dianggap berhasil, dalam arti bisa berkontribusi terhadap kenaikan pendapatan daerah. Padahal tidak sedikit modal telah digelontorkan untuk membentuk BUMD baik dalam bentuk kucuran dana maupun aset-aset yang bergerak dan tidak bergerak.

Baca juga: Refleksi Tahun Baru Masehi: Pudarnya Syiar Islam

Dari data yang ada, perkembangan BUMD secara keseluruhan memang masih jauh dari harapan. Tahun 2019, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pernah mengungkapkan sekurang-kurangnya 70 persen BUMD masih mengalami rugi bersih.

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga mengungkap dari sebanyak 1.097 BUMD dengan total aset mencapai Rp340,118 triliun baru mampu menghasilkan laba sebesar kurang lebih Rp10,372 triliun. Artinya dari modal dan aset yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah, kemampuan BUMD untuk menghasilkan laba masih sangat rendah yaitu sekitar 3,05 persen saja.

Sebelumnya, pada Maret 2017 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI juga menguatkan temuan berulang tentang tata kelola dan kinerja BUMD yang belum memadai.

Menurut BPK, dari sebanyak 192 BUMD sektor perbankan dan jasa keuangan dilaporkan mengalami peningkatan kerugian dari 4 persen menjadi 17 persen, sedangkan kerugian pada BUMD sektor aneka usaha meningkat dari 34 persen menjadi 41 persen.

Meski tidak merinci faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab buruknya tata kelola dan kinerja BUMD, namun rilis pendapat BPK ini sepintas menyebutkan dua hal pokok yaitu efisiensi biaya dan optimalisasi pendapatan.

Baca juga: Cerita Teluk Atok Itam Berubah Nama Jadi Kampung Dapur 12

Di sisi lain, sorotan negatif terhadap tata kelola dan kinerja BUMD seakan terjawab dengan munculnya sejumlah permasalahan hukum yang mendera BUMD.

Dilihat dari lingkup permasalahan hukum yang timbul tersebut, ada yang berkaitan dengan faktor personal manajemen BUMD namun tidak sedikit yang berhubungan dengan salah laku dalam praktek bisnis BUMD sehingga berujung pada pidana korupsi.

Soal yang terakhir misalnya, dapat dirujuk dari data yang disampaikan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) dimana di sepanjang tahun 2020, dari sebanyak 61 penindakan kasus korupsi terdapat 33 kasus di antaranya terjadi di BUMD sedangkan sisanya terjadi di BUMN.

Apa sebab? Tentu berbagai faktor dapat dianalisa. Namun secara garis besar, muara dari berbagai permasalahan yang mendera BUMD adalah kelemahan manajerial pada berbagai lini fungsional, apakah itu pada aspek organisasi, finansial, operasional maupun SDM.

Dalam PP 54/2017 disebutkan bahwa karakteristik pengelolaan BUMD adalah dengan menggunakan kelaziman dunia usaha (Pasal 6). Hal ini mengisyaratkan bahwa sehatnya manajemen dan kinerja BUMD secara tidak langsung dapat terjawab dari berjalan tidaknya pendekatan organisasi perusahaan sebagaimana laiknya.

Tak dapat dipungkiri pengelolaan BUMD selama ini masih sulit terlepas dari kecurigaan atau tudingan anasir politik. Memang sebagai perusahaan milik pemerintah daerah, mustahil BUMD bisa sepenuhnya bebas dari lingkungan politik.

Bagaimanapun, keberadaan kepala daerah dalam hirarki pengambilan keputusan BUMD, suka atau tidak berpotensi membawa BUMD ke dalam bias tendensi politik. Bahkan kebijakan BUMD sendiri tidak terlepas dari relasi dengan legislatif yang merupakan lembaga politik. Yang terang, pendirian BUMD dan penyertaan modal merupakan satu paket keputusan politik kolektif antara eksekutif dan legislatif.

Faktor Kepala Daerah dalam Perbaikan BUMD

Pasal 2 PP 54/2017 menjelaskan tentang kebijakan BUMD yang tidak lain merupakan implementasi kekuasaan dari kepala daerah. Dengan lingkup kebijakan yang dapat dilakukan ini, maka kepala daerah seyogianya merupakan faktor penting dalam perkembangan capaian BUMD.

Maju dan mundurnya BUMD sangat berkaitan dengan efektivitas penggunaan kekuasaan oleh kepala daerah sebagaimana yang dimaksud di dalam perundang-undangan.

Pertanyaannya, sejauh mana kekuasaan kepala daerah telah dan dapat digunakan untuk menjadikan BUMD tumbuh sehat dan berdaya saing, atau sekurang-kurangnya berkinerja baik dan tidak terseret masalah hukum seperti yang marak terjadi belakangan ini?

Pentingnya kekuasaan kepala daerah sebagai penentu kebijakan BUMD pada dasarnya dikarenakan kewenangan yang dimilikinya dalam pengambilan keputusan. Sebagai pemilik modal atau pemegang saham mayoritas, kapasitas kepala daerah berada di atas direksi selaku organ yang menjalankan pengelolaan perusahaan.

Dari sisi internal BUMD, hal ini perlu dilihat sebagai daya dukung yang positif terhadap upaya perbaikan di tubuh BUMD. Karena dengan demikian, direksi tidak dapat berjalan sendiri tanpa arahan kepala daerah atau lebih jauh direksi tidak dapat dibiarkan (baca: ditinggalkan) sendiri dalam konteks memperbaiki atau menata kembali kondisi BUMD yang sedang bermasalah atau tidak sehat.

Argumentasi kepala daerah sebagai faktor penting dalam memperbaiki BUMD ini juga sejalan dengan logika kepengurusan BUMD di tangan direksi dan komisaris. Tidak lain karena pengangkatan keduanya merupakan kewenangan kepala daerah.

Jika direksi ditugaskan langsung dalam pengurusan BUMD dan komisaris sebagai pengawasnya, maka fungsi dari keduanya tidak lain sebagai subyek dari kepala daerah.

Baik pada BUMD Perseroda dimana daerah menjadi pemilik modal mayoritas dengan sekurang-kurangnya 51 persen saham, apalagi bagi Perusahaan Umum Daerah (Perumda) yang 100 persen modal hanya boleh dimiliki oleh daerah dan bersifat tertutup bagi penyertaan modal dari luar.

Lebih jauh, kepala daerah masih diberikan kewenangan yang melekat untuk mengambil keputusan-keputusan fundamental dan strategis terkait dengan kebijakan BUMD, sekurang-kurangnya dalam 11 urusan seperti yang dinyatakan pada Pasal 3 ayat (4) PP 54/2017.

Maka dilihat dari segi keluasan kekuasaan maupun kewenanganya, peran kepala daerah dalam konteks penguatan atau penyehatan BUMD seyogianya merupakan kondisi obyektif yang dapat diwujudkan. (*)