JAKARTA – Presiden RI terpilih Prabowo Subianto akan membentuk zaken kabinet, yang nantinya akan diisi orang-orang yang berkompeten meski mereka diajukan dari partai politik (Parpol).
Zaken Kabinet yang akan dibentuk Prabowo disampaikan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra, Ahmad Muzani di Gedung DPR, Senayan, Jakarta. Nantinya, orang-orang yang benar-benar ahli akan menjadi menteri.
“Pak Prabowo ingin pemerintahan yang dipimpinnya nanti adalah zaken kabinet, di mana orang-orang yang duduk di kementerian benar-benar ahli,” kata Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 09 September 2024 mengutip cnnIndonesia.
Selain itu, Ketua Harian Gerindra Sufmi Dasco Ahmad pun mengatakan, Prabowo Subianto akan merampungkan komposisi menteri di kabinetnya sebelum pelantikan dilakukan 20 Oktober 2024 mendatang.
“Mungkin nomenklatur maupun orang itu baru akan final H-7 atau H-5 atau kali mungkin begitu,” kata Dasco di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis 12 September 2024.
Dasco juga menegaskan, nantinya komposisi kabinet Prabowo bakal lebih banyak diisi kalangan profesional atau ahli dengan sedikit jatah menteri dari partai politik.
Apa itu zaken cabinet, yang nantinya akan dibentuk Prabowo Subianto
Melansir dari esi-kemedikbud, Kabinet Djuanda adalah sebuah kabinet karya (zaken kabinet) yang dibentuk pada masa Demokrasi Liberal dan merupakan kabinet terakhir dari sistem parlementer di Indonesia.
Kabinet ini dipimpin Perdana Menteri Ir. Djuanda Kartawidjaja (1911-1963), sejak tanggal 9 April 1957 hingga 10 Juli 1959.
Kabinet ini disebut zaken kabinet, atau kabinet extra-parlementer. Kabinet yang dibentuk ini, tanpa melihat jumlah kursi di parlemen (Suprapto 1989: 185).
Sedangkan Kabinet Djuanda terbentuk setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo II jatuh pada tanggal 14 Maret 1957.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II jatuh karena tidak mampu memperbaiki masalah ekonomi yang menimbulkan demonstrasi buruh yang dikoordinir oleh PKI.
Kemudian muncul masalah lainnya adalah korupsi, dan lesunya kinerja aparat pemerintah (Suswanta 2000: 65).
Selain itu, terjadi pergolakan besar-besaran dari Aceh, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah pusat yang mengabaikan daerah.
Setiap daerah yang tidak puas melakukan perlawanan dengan membentuk organisasi militer, yang bertujuan mengambil alih pemerintahan setempat.
Di Sumatera Barat berdiri Dewan Banteng pada 20 Desember 1956, Dewan Gajah di Sumatera Utara (Medan) tanggal 22 Desember 1956, Dewan Garuda di Sumatera Selatan pada bulan Januari-Februari 1957 dan gerakan Permesta di Makassar yang mengumumkan Piagam Perjuangan Semesta (Piagam Permesta) tanggal 2 Maret 1957.
Gerakan yang disebut terakhir ini, meliputi daerah Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara (Kansil & Julianto 1972: 66).
Setelah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri, Presiden Sukarno menunjuk Soewirjo menjadi formatur dalam membentuk kabinet baru namun gagal.
Gagalnya Soewirjo, akhirnya Presiden Sukarno menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur. Formatur Ir. Sukarno membentuk Kabinet Darurat Ekstra-Parlementer dan menunjuk Ir. Djuanda Kartawidjaja sebagai Perdana Menteri.
Kabinet Djuanda ini diberi nama Kabinet Karya (Zaken Kabinet), sebab tidak berasal dari partai politik serta memiliki dua anggota militer di dalamnya.
Kabinet ini berlangsung antara April 1957 hingga Juli 1959. Program kerja kabinet ini antara lain membentuk suatu Dewan Nasional, normalisasi keadaan negara Republik Indonesia, melanjutkan pembatalan perjanjian Konferensi Meja Bundar, memperjuangkan Irian Barat dan mempercepat pembangunan (Kartasasmita 1995: 42).
Sejarah mencatat bahwa Kabinet Djuanda menandai awal dari konsepsi tentang “Demokrasi Terpimpin” yang diusulkan Presiden Sukarno sejak 21 Februari 1957.
Menurut Soekarno, konsep tersebut merupakan suatu bentuk pemerintahan yang lebih cocok dengan kepribadian nasional yang berdasarkan kabinet gotong royong, dan terdiri atas partai-partai politik besar dengan sebuah Dewan Nasional yang terdiri atas berbagai golongan sebagai penasehatnya.
Konsep Demokrasi Terpimpin menimbulkan pro dan kontra, beberapa partai seperti PNI, PKI, Murba dan beberapa partai kecil lainnya mendukung gagasan Sukarno.
Sementara partai-partai yang tidak mendukung gagasan tersebut, adalah Partai Sosialis Indonesia (PSI), Masyumi, NU dan Partai Katolik (Ricklefs 2008: 505).