BATAM – Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Provinsi Kepulauan Riau (HNSI Kepri) minta kontraktor yang mengerjakan proyek pemotongan lahan untuk pembangunan rumah relokasi di Tanjung Banun, Rempang, Galang, Kota Batam tidak mencemari sumber air bersih warga Dapur Enam.
Aktivitas pemotongan lahan diduga menyebabkan aliran lumpur tebal menutupi sumur dan Water Treatment Plant (WTP) yang sebelumnya difasilitasi oleh Pemkot Batam.
Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh HNSI Kepri terungkap bahwa lumpur tebal itu juga menimbun perahu nelayan, dan tentu berkontribusi terhadap pendangkalan di wilayah pesisir, termasuk kawasan hutan bakau.
Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Kelembagaan HNSI Kepri, Bernard Gultom, yang mewakili Ketua DPD HNSI Kepri, Eko Prihananto, yang berada di lokasi pencemaran lingkungan tersebut mengungkapkan bahwa dampak dari proyek ini tidak hanya terjadi dalam beberapa minggu terakhir, melainkan sudah berlangsung selama tiga bulan.
Ia menyebutkan bencana ini semakin terasa sejak hujan lebat pada Januari 2025 lalu.
“Akibat pematangan lahan di atas, mereka menimbun bukit, terjadi ‘cut and fill’ yang mengubah struktur tanah. Material dari bukit yang ditimbun terbawa air hujan, mengalir ke pantai, dan menutup wilayah Dapur 6. Saya sebenarnya tidak ingin menyebut nama proyeknya, karena HNSI fokus pada permasalahan nelayan dan laut,” ujar Bernard.
Dampak paling nyata dari kejadian ini adalah kerusakan sumber air utama warga. WTP yang selama ini menjadi pendistribusian air bersih kini terkubur lumpur dan tidak dapat berfungsi.
Sumur-sumur yang sebelumnya menjadi sumber air masyarakat juga tertutup, menyisakan hanya satu sumur tua yang masih bisa dimanfaatkan.
Tak hanya itu, lumpur yang terbawa hingga ke pesisir juga mengakibatkan perahu-perahu nelayan tertimbun material lumpur, membuat nelayan kesulitan melaut. Bahkan, area pemakaman yang ada di sekitar lokasi juga terancam terkubur lumpur.
“Makam saja sudah terancam, apalagi orang hidup. Ini bukan sekadar persoalan lingkungan, tapi sudah menyangkut hak dasar masyarakat,” ujarnya.
Dalam upaya mencari solusi, HNSI Kepri telah melayangkan aduan ke BP Batam. Namun, hingga kini belum ada langkah konkret yang diambil untuk mengatasi masalah ini.
“Sebelum Bulan Ramadan, kami sudah meminta agar alat berat diturunkan untuk menggali kolam tradisional sebagai penampungan air sementara. Kami ingin BP Batam memberikan solusi darurat, karena air adalah kebutuhan utama. Tapi, sampai sekarang, belum ada langkah nyata,” ucap Bernard menegaskan.
Akibat lambannya respons tersebut, kata dia HNSI Kepri akhirnya memviralkan persoalan ini di media sosial. Hal ini memicu perhatian lebih luas, sehingga berbagai instansi, seperti BP Batam, Pemkot Batam, SPAM BP Batam, serta Kejaksaan Tinggi sempat turun langsung ke lokasi.
“Berbondong-bondong mereka datang seperti mengantar jenazah ke Sei Temiang. Meski begitu, hingga kini belum ada tindak lanjut,” katanya.
Menurut dia, kini kekecewaan warga semakin memuncak. Jika dalam waktu dekat tidak ada penyelesaian nyata dari BP Batam dan pihak terkait, HNSI Kepri mengancam akan menggelar aksi demonstrasi besar-besaran.
“Kami sudah mencoba jalur persuasif, tapi jika tidak ada tindakan, kami tidak punya pilihan lain. Masyarakat Dapur 6 dan mungkin warga lain juga akan turun ke jalan. Ini menyangkut hak hidup banyak orang,” ujar Bernard.
Baca juga: Presiden Prabowo Instruksikan BP Batam Genjot Pembangunan dan Daya Saing Daerah
Menurutnya, di daerah tersebut ada delapan rukun warga, baik di hinterland maupun mainland. Jika tidak ada solusi segera, ia tidak bisa menjamin jika eskalasi protes bisa semakin besar.
Bernard juga mempertanyakan apakah kontraktor proyek ini memahami dampak lingkungan dari aktivitas cut and fill yang mereka lakukan. Ia menyoroti pentingnya analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dalam proyek-proyek besar seperti ini.
“Kami tidak ingin bicara soal aturan undang-undang ini dan itu. Yang penting adalah tindakan nyata untuk menyelamatkan warga. Minggu depan, saya ingin melihat apakah ada air yang mengalir dari SPAM BP Batam,” katanya.
Selain itu, Bernard mengkritik sikap Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam yang hingga kini belum menunjukkan respons berarti. Menurutnya, instansi ini seharusnya lebih aktif dalam menangani isu lingkungan seperti ini, bukan hanya fokus pada persoalan sampah di kota Batam.
“Sekecil apa pun masalah lingkungan, mereka harus tahu dan bertindak. Jangan hanya sibuk urusan persampahan, ini juga harus diperhatikan,” tutupnya mengakhiri wawancara. (*)
Ikuti Berita Ulasan.co di Google News