TANJUNGPINANG – Kasus penyimpangan seksual semakin marak ditemukan, baik di lingkungan sekitar maupun di media sosial.
Salah satu perkembangan yang sempat mengejutkan adalah keputusan Thailand yang pada 23 Januari 2025 resmi melegalkan pernikahan sesama jenis. Dengan langkah ini, Thailand menjadi negara ketiga di Asia yang menerapkan kebijakan tersebut setelah Nepal dan Taiwan.
Tak hanya itu, pada Ahad 9 Februari 2025, publik juga dikejutkan dengan penangkapan seorang pelatih voli pria yang diduga mencabuli lima atletnya. Mirisnya, korban-korban tersebut juga berjenis kelamin laki-laki dan masih berusia antara 10 hingga 13 tahun.
Psikolog dari RSUD Raja Ahmad Tabib, Restriya Nandra, mengungkapkan bahwa ada berbagai faktor yang dapat menyebabkan seseorang mengalami penyimpangan seksual.
“Tidak sedikit pelaku kekerasan seksual, terutama sesama jenis, memiliki pengalaman traumatis di masa lalu, misalnya pernah menjadi korban pelecehan seksual berulang kali,” ujar Restriya, Rabu 12 Februari 2025.
Ia menambahkan, korban pelecehan seksual yang tidak mendapatkan pendampingan psikologis untuk mengatasi traumanya berisiko tinggi menjadi pelaku pelecehan seksual di kemudian hari. Selain itu, tren hubungan dan pernikahan sesama jenis juga dapat memengaruhi seseorang untuk melakukan hal serupa.
“Kita perlu bijak dalam menyikapi informasi di media sosial. Mereka yang mudah terpengaruh adalah orang-orang yang tidak memilah dengan baik apa yang mereka konsumsi di dunia maya,” jelasnya kepada Ulasan.
Restriya juga menyoroti faktor budaya yang ikut berperan dalam memengaruhi perilaku seksual seseorang. Menurutnya, tontonan, bacaan, kondisi keluarga yang kurang harmonis, serta lingkungan pergaulan yang tidak sehat bisa menjadi pemicu penyimpangan seksual.
Meski demikian, Restriya menegaskan bahwa tidak semua individu dengan riwayat trauma atau gangguan psikologis akan menjadi pelaku kekerasan seksual.
“Hingga kini penyebab pasti penyimpangan seksual masih belum diketahui. Namun ada beberapa faktor yang membuat seseorang lebih rentan mengalaminya,” katanya.
Menurutnya, individu dengan kontrol diri yang lemah, kesulitan menunda kepuasan, tingkat empati rendah, serta pengetahuan yang terbatas mengenai pendidikan seksual lebih berisiko mengalami penyimpangan seksual.
“Masyarakat kita masih menganggap tabu pembahasan tentang pendidikan seksual sejak dini. Padahal, edukasi yang tepat bisa menjadi langkah pencegahan yang efektif,” ujarnya.
Baca juga: Pelatih Voli yang Cabuli Anak di Tanjungpinang Tidak Terdaftar di PBVSI Kepri
Senada dengan itu, psikolog dari Biro My Psikolog, Mirta Yolanda, menjelaskan bahwa banyak pelaku kekerasan seksual memiliki riwayat sebagai korban kekerasan atau pelecehan seksual di masa kecil. Trauma tersebut dapat memengaruhi cara mereka memandang dan merespons perilaku seksual.
“Selain itu, faktor gangguan kepribadian, kesempatan, dan paparan lingkungan yang tidak sehat dapat mendorong seseorang untuk melakukan eksploitasi seksual,” tambah Mirta. (*)
Ikuti Berita Ulasan.co di Google News