Puan Minta Kemenaker Tinjau Ulang Aturan JHT Bisa Cair di Usia 56 Tahun

Puan Minta Kemenaker Tinjau Ulang Aturan JHT Bisa Cair di Usia 56 Tahun
Ketua DPR RI Puan Maharani. Foto Antara

Jakarta – Ketua DPR RI Puan Maharani meminta Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) agar meninjau ulang aturan tentang cara dan persyaratan pembayaran jaminan hari tua (JHT) di usia 56 tahun atau memasuki usia pensiun.

“Perlu diingat, JHT bukanlah dana dari Pemerintah, melainkan hak pekerja pribadi karena berasal dari kumpulan potongan gaji teman-teman pekerja, termasuk buruh,” kata Puan dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (14/02).

Baca juga: KSPN Nilai Aturan JHT Bisa Cair di Usia 56 Tahun Sesuai Undang-undang

Puan mengatakan hal itu menyoroti Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) yang dapat banyak penolakan dari kalangan pekerja atau buruh.

Aturan itu ditolak lantaran permenaker baru ini mengubah cara pencairan JHT. Lewat beleid itu, klaim JHT baru bisa dilakukan 100 persen saat pekerja berada pada usia masa pensiun, yaitu 56 tahun, mengalami cacat total tetap, dan meninggal dunia (kepada ahli waris).

“Kebijakan itu sesuai dengan peruntukan JHT. Namun, kurang sosialisasi dan tidak sensitif terhadap keadaan masyarakat, khususnya para pekerja,” tuturnya.

Ia menilai permenaker ini memberatkan para pekerja yang membutuhkan pencairan JHT sebelum usia 56 tahun. Apalagi, dalam kondisi pandemi COVID-19 ini, tak sedikit pekerja yang kemudian dirumahkan atau bahkan terpaksa keluar dari tempatnya bekerja.

“Banyak pekerja yang mengharapkan dana tersebut sebagai modal usaha, atau mungkin untuk bertahan hidup dari beratnya kondisi ekonomi saat ini. Sekali lagi, JHT adalah hak pekerja,” ungkapnya.

Baca juga: Buruh Ancam Demo Jika Aturan JHT Cair di Usia 56 Tahun Tak Dicabut

Meski para pekerja yang terdampak PHK (pemutusan hubungan kerja) bisa memanfaatkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), hal tersebut dianggap tidak cukup.

Puan menilai JKP bukan solusi cepat bagi pekerja yang mengalami kesulitan ekonomi.

“Program JKP sendiri baru mau akan diluncurkan akhir bulan ini. Untuk bisa memanfaatkannya, pekerja yang di-PHK harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang prosesnya tidak sebentar,” ujarnya.

Salah satu kriteria bagi penerima manfaat JKP adalah dengan membayar iuran program JKP 6 bulan berturut-turut selama 12 bulan dalam 24 bulan saat masih bekerja. Belum lagi dana yang diterima pun tidak bisa langsung seperti layaknya JHT.

“Lantas bagaimana dengan pekerja yang kemudian mengalami PHK untuk 24 bulan ke depan dan membutuhkan dana? Mereka tidak bisa langsung menerima manfaat JKP, tetapi juga tidak bisa mencairkan JHT,” ujar Puan.

Baca juga: Tolak Penetapan UMK Batam Tahun 2022, Buruh akan Mogok Kerja

Mantan Menteri Koordinator PMK ini pun menilai subsidi atau bantuan sosial dari Pemerintah tidak bisa menjadi jawaban utama untuk masyarakat yang terkena dampak PHK. Selain karena program tersebut belum bisa menjangkau seluruh korban PHK, subsidi dan bansos bukan solusi jangka panjang.

“Padahal, masyarakat harus terus melanjutkan hidup. Mereka harus mampu bertahan dengan mencari nafkah untuk menghidupi diri dan keluarganya,” kata cucu Proklamator RI Bung Karno itu.

Ia juga mengingatkan Pemerintah untuk melibatkan semua pihak terkait dalam pembahasan persoalan JHT, termasuk perwakilan para pekerja/buruh dan DPR.

“Dalam membuat kebijakan, Pemerintah harus melibatkan partisipasi publik dan juga perlu mendengarkan pertimbangan dari DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat,” katanya.