RUU KUHP, Antara Restorative Justice dan Pidana Mati

RUU KUHP, Antara Restorative Justice dan Pidana Mati
Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Foto/SINDOnews

Jakarta – Keadilan restoratif atau restorative justice memiliki semangat yang sangat bertolak belakang dengan pidana mati. Semangat ini yang terus digaungkan hampir semua aparat penegak hukum di Indonesia.

Ketika keadilan restoratif bertujuan untuk mengoreksi tindakan pelaku kejahatan dan berfokus pada pemulihan kembali. Sementara pidana mati justru merenggut hak untuk hidup dan bersifat permanen. Artinya, ketika menerapkan pidana mati, pelaku tidak memiliki kesempatan untuk membenahi perbuatannya yang keliru.

Pidana mati merupakan bagian dari keadilan retributif yang memiliki orientasi untuk menggunakan jalur hukum sebagai tempat melakukan balas dendam sehingga terdapat tendensi untuk memberi hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku.

Dalam draf terbaru Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pidana mati sebagai salah satu hukuman yang mungkin diterima oleh para pelaku tindak kriminal. Padahal, para aparat penegak hukum, seperti Polri, Kejaksaan Agung, hingga Mahkamah Agung telah menggaungkan komitmen mereka untuk menerapkan keadilan restoratif dalam menangani perkara hukum di Indonesia.

Baca juga: Di Hadapan Jaksa Agung, Tersangka Ini Sujud Syukur Setelah Memperoleh Restorative Justice

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berulang kali menyebut soal restorative justice dalam penyelesaian perkara oleh anggota Polri. Perihal restorative justice ini utamanya ditekankan dalam upaya penanganan perkara UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 19 Tahun 2016.

Ia bahkan menerbitkan surat edaran pada 19 Februari 2021 yang salah satu isinya meminta penyidik memiliki prinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.

Selain itu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin juga telah menegaskan bahwa pihaknya akan mengawal penerapan keadilan restoratif di Indonesia untuk menjadi solusi atas kekakuan hukum yang selama ini melukai rasa keadilan di tengah masyarakat.

Baca juga: Kejari Batam Damaikan Pasangan Suami-Istri Lewat Keadilan Restoratif

Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari menilai Indonesia sedang berada di dalam masa inkonsistensi. Di satu sisi, Pemerintah, DPR, serta seluruh aparat penegak hukum mengawal implementasi keadilan restoratif sebagai bagian dari reformasi kebijakan hukum pidana.

Di sisi lain, mereka juga masih mendorong adanya praktik hukuman mati, sebagaimana yang terjadi pada beberapa kasus belakangan ini seperti tuntutan mati untuk terdakwa perkosaan 13 santriwati di Bandung Herry Wirawan, juga tuntutan mati untuk Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat terkait dengan kasus korupsi PT Asabri.

Berbagai kebijakan yang saling bertolak belakang ini menunjukkan bahwa sedang terjadi dilema di dalam penegakan hukum Indonesia. Hal ini akan menjadi tantangan bagi pemerintah dalam menyusun RUU KUHP.