RUU Politik, Ahli Usulkan Caleg DPR Minimal 3 Tahun Sebagai Kader Parpol

Petugas Satpol PP Kota Batam menertibkan spanduk bacaleg yang terpasang di JPO Batamindo, Kota Batam. (Foto:Dok/Bawaslu Kota Batam)

JAKARTA – Ahli dan juga praktisi pemilu dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini mengusulkan, seseorang yang maju sebagai calon legislatif (Caleg) minimal 3 tahun sebagai kader partai politik (Parpol).

Titi Anggraini beralasan bahwa usulannya itu bertujuan, untuk mencegah kehadiran petualang politik oportunis atau caleg kutu loncat.

Tak hanya itu, Titi juga menyampaikan usulan terkait persyaratan calon presiden hingga kepala daerah dari kader parpol dan jalur maju pada independen.

Usulan itu disampaikan Titi saat menghadiri rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi II DPR di Jakarta, Rabu 26 Februari 2025. Rapat turut dihadiri ahli lain dari BRIN dan Perkumpulan Masyarakat untuk Demokrasi (Perludem).

Dia mengatakan, sebaiknya para caleg harus menjadi kader parpol minimal tiga tahun untuk tingkat DPR RI dan dua tahun untuk DPRD.

Selain itu, Titi juga mengatakan, agar aturan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pencalonan legislatif tetap dipertahankan.

“Syarat caleg DPR adalah kader parpol minimal tiga tahun sebelum pendaftaran calon, dan caleg DPRD adalah kader partai minimal dua tahun sebelum pendaftaran calon,” kata Titi Anggraini mengutip cnnindonesia.

Titi juga mengusulkan, hanya kader yang bisa diusung parpol pada pemilihan presiden (pilpres). Mereka yang bukan kader partai bisa maju lewat jalur independen.

“Pencalonan oleh partai hanya untuk kader atau anggota partai. Calon non-partai hanya bisa maju melalui jalur independen atau perseorangan,” ujar dia menjelaskan.

Kemudian, Titi juga mengusulkan ambang batas maksimal dalam pencalonan kepala daerah dan presiden.

Menurutnya, ambang batas maksimal diperlukan untuk mencegah dominasi partai tertentu dalam pemilu dan mencegah calon tunggal. Dia mengusulkan batas maksimal sekitar 40-50 persen.

“Juga usulan ambang batas maksimal gabungan parpol dalam pencalonan presiden dan kepala daerah yaitu koalisi pencalonan maksimal 40 atau 50 persen untuk mencegah dominasi kekuatan politik tertentu dan juga terjadinya calon tunggal,” tambah Titi.

Berikutnya, Titi mengusulkan agar ada moratorium bantuan sosial (bansos) selama masa kampanye dan masa tenang pilkada. Dia mencatat politisasi bansos meningkat selama Pilkada Serentak 2024 dibanding pilkada sebelumnya.

Kemudian Titi juga mengusulkan Sentra Gakkumdu dihapus. Menurutnya, penyelesaian aduan kecurangan pemilu mestinya lebih sederhana.

Lantas Titi mengusulkan, agar Bawaslu memiliki kewenangan untuk menyerahkan dugaan kecurangan pemilu langsung ke pengadilan.

Dia menilai, selama ini keberadaan Sentra Gakkumdu justru menyebabkan proses penyelesaian bertele-tele, dan terjadi saling lempar antara Bawaslu dan kepolisian.

“Jadi kalau ingin ada polisi, ada jaksa di Bawaslu, maka langsung saja ketika sudah dinyatakan memenuhi syarat, memenuhi unsur tindak pidana, langsung teruskan ke PN,” Titi.

DPR saat ini tengah membahas perubahan atau revisi sejumlah undang-undang terkait pemilu dan parpol. Wakil Ketua Komisi II DPR Aria Bima mencatat, hingga saat ini sedikitnya ada lima undang-undang yang akan dikodifikasi menjadi satu.

“Yang jelas kelihatannya bagaimana RUU Partai Politik, RUU Pilpres, Pileg, DPD dan Pilkada ini harus kita buat apakah mana yang bisa satu atau dua kodifikasi,” ungkap Aria menutup wawancara.