Tanam Mangrove di Batam, Komisi IV DPR RI Dapat Masukan Kritis soal Lingkungan Kepri

Rombongan Komisi IV DPR RI menggelar kegiatan penanaman mangrove secara simbolis di kawasan Hutan Lindung Piayu, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri), Jumat sore 20 Juni 2025. (Foto: Randi Rizky K)

BATAM – Rombongan Komisi IV DPR RI menggelar kegiatan penanaman mangrove secara simbolis di kawasan Hutan Lindung Piayu, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri), Jumat sore 20 Juni 2025.

Kunjungan dalam masa reses ini menjadi ajang mendengar langsung aspirasi terkait persoalan lingkungan di Kepri, termasuk isu kerusakan mangrove dan alih fungsi lahan.

Setibanya di lokasi, belasan anggota dewan yang membidangi kehutanan, kelautan, dan pertanian itu didampingi Wali Kota Batam, Amsakar Achmad menapaki pelantar kayu sambil mengenakan sepatu boot. Di hadapan mereka, hamparan bakau yang tengah direhabilitasi oleh NGO lokal, Akar Bhumi Indonesia, menjadi saksi kegiatan konservasi yang mereka ikuti.

Meski tidak ikut berendam ke lumpur seperti para relawan remaja lokal, para legislator ikut melakukan penanaman secara simbolis dari atas pelantar.

“Ini bentuk dukungan kami terhadap pelestarian mangrove. Penanaman ini harus dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, karena tidak mungkin selesai dalam satu dua hari,” ujar Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari.

Minim Informasi Soal Isu Lingkungan di Kepri

Usai seremoni, para anggota dewan mendengarkan paparan dari pendiri Akar Bhumi, Hendrik, serta perwakilan Direktorat Jenderal Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan KLHK. Di sesi ini, mereka tampak mulai memahami bahwa membangun kembali ekosistem mangrove butuh waktu puluhan tahun.

Dalam sesi wawancara usai kegiatan, Abdul Kharis mengakui pihaknya baru mendapatkan gambaran soal kerusakan lingkungan di Kepri, termasuk keluhan dari masyarakat dan organisasi lingkungan.

“Surat-surat dari masyarakat sudah kami teruskan ke pihak terkait, termasuk kunjungan hari ini sebagai respon awal,” ujarnya.

Namun, saat ditanya soal Proyek Strategis Nasional (PSN) Tanjung Sauh yang diduga menimbun mangrove, Kharis tampak belum menguasai persoalan. “Belum sampai ke kami,” katanya.

Ia juga mengaku tidak bisa mengunjungi lokasi tersebut karena agenda sudah padat.

Baca juga: Endipat Sorot Tambang di Pulau Citlim Karimun, Diduga Merusak Lingkungan

Terkait maraknya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Batam yang disebut-sebut berdiri di atas hutan lindung, Abdul Kharis menyatakan pentingnya kehadiran kementerian teknis dalam setiap kunjungan kerja.

“Supaya masyarakat bisa langsung menyampaikan keluhan. Kami ini jembatan aspirasi. Tapi kami juga bawa mitra agar masalah bisa langsung ditangani,” ujarnya.

Mangrove Kepri Terus Tergerus

Menurut data Peta Mangrove Nasional 2024, Kepri memiliki 66.943,2 hektare ekosistem mangrove, dengan 67,5 persen di dalam kawasan hutan dan sisanya berada di luar kawasan, menjadikannya rentan terhadap konversi lahan.

Kabupaten Lingga menjadi wilayah dengan hutan mangrove terluas, mencapai 18.507 hektare, disusul Batam dengan 17.661 hektare. Namun, tekanan akibat ekspansi industri dan pemukiman terus mengancam keberlanjutan ekosistem ini.

Daerah lain seperti Karimun (13.633 hektare), Bintan (9.158 hektare), dan Natuna (5.402 hektare) juga menyimpan potensi mangrove yang besar namun sebagian besar berada di luar kawasan lindung. Tanjungpinang dan Anambas bahkan memiliki area mangrove yang sebagian besar tidak terlindungi secara hukum.

Hendrik dari Akar Bhumi menekankan pentingnya pendekatan lintas sektor dalam menyelamatkan mangrove di Kepri.

“Restorasi wilayah kritis, penegakan hukum terhadap alih fungsi lahan, dan pelibatan aktif masyarakat pesisir harus menjadi prioritas,” katanya tegas. (*)

Ikuti Berita Ulasan.co di Google News