Tantangan Pengawasan Pemilu 2024 di Kepri

Ilustrasi pencoblosan surat suara Pemilu 2019.

Pemilihan umum 2024 sudah di depan mata. Pihak Penyelenggara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) harus merampungkan langkah demi langkah sesuai jadwal yang direncanakan.

Pada Pemilu 2024 mendatang, pemilu di Indonesia menjalankan lima pemilihan bersamaan yaitu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Selanjutnya disusul Pemilihan Kepala Daerah. Urgensinya, tahapan ini sudah berjalan sejak Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan (14 Oktober 2022-9 Februari 2023).

Selanjutnya, Pencalonan anggota DPD (6 Desember 2022-25 November 2023), Pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota (24 April 2023-25 November 2023), Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (19 Oktober 2023-25 November 2023).

Seiring berjalannya tahapan-tahapan tersebut, Bawaslu sebagai badan pengawas memiliki peran penting agar KPU dan peserta pemilu mematuhi aturan yang tidak boleh dilanggar.

Berbagai potensi seperti penyebaran berita bohong (hoax) dan black campaign yang kerap terjadi di media sosial salah satu persoalan yang harus diminimalisir pada pemilu saat ini.

Nah menghadapi, potensi kecurangan tersebut, penyelenggara pemilu di Kepri sudah menyiapkan sejumlah strategi mereka. Salah satunya program ‘Sekolah Kader Pengawas Pemilu’.

Sekolah kader ini, informasinya sudah dimulai dan tersebar sedikitnya lebih dari 300 orang di pelosok Kepulauan Riau. Bawaslu seakan tidak mau kecolongan.

Mengingat sebaran wilayah yang cukup luas, kerja pengawas ini bukan hal yang mudah. Tingkat kerawanan kecurangan akan sulit dibendung terutama daerah terpencil dan padat penduduk.

Dari data Diskominfo Kepulauan Riau, Tahun 2020, 5 kabupaten dan 2 kota, 52 kecamatan serta 299 kelurahan/desa yang tersebar memiliki jumlah penduduk 2.064.564 jiwa, dengan kepadatan 252 jiwa/km2, dan 58% penduduknya berada di kota Batam.

Dengan sebaran wilayah yang cukup luas, maka strategi pengawasan di pelosok Kepri perlu trobosan yang tidak seremonial. Artinya, perlu kerja nyata yang serius dan terukur.

Untuk mewujudkan kerja yang terukur, Bawaslu Kepri mengakalinya dengan menjaring kader pengawas yang tahu betul dengan aturan. Maka salah satu caranya melalui program ‘Sekolah Kader Pengawas Pemilu’.

Selain itu tidak kalah penting Bawaslu mengklaim penguatan pengawasan pemilu diperkuat dengan sistem tekhnologi digital.

Dengan sistem ini, Bawaslu membuka corong untuk masyarakat secara bebas mengadukan pelanggaran pemilu terbuka dan terang.

Namun strategi ini harus benar-benar sampai di tengah-tengah masyarakat khususnya mereka generasi millenial.

Masalahnya, apakah generasi 17+ tahun ini, memiliki semangat yang sama dengan penyelenggara pemilu saat ini. Maka Perlu survei lebih giat ke lapangan. Petugas Bawaslu harus lebih rajin turun melakukan sosialisasi soal pelanggaran politik.

Informasi salah satu Partai politik di Bintan, mereka masih sangat pesimis dengan keterlibatan generasi millenial dalam kesuksesan pesta demokrasi pemilu mendatang.

Jangan sampai sejumlah program yang diluncurkan saat ini justru merepotkan Bawaslu, karena minimnya pemahaman mereka terhadap apa itu Pemilu 2024.

Kerja penyelenggara pemilu terhadap generasi Z ini harus benar-benar matang. Terutama, urgensinya tentang pengenalan warna, ketokohan, kemudian soal pelanggaran, sosialisasi pemilu jujur dan adil (Jurdil).

Sejumlah elit partai politik di Bintan menilai, jangankan kalangan milleniel mereka sebagai peserta pemilu pun sejauh ini belum mendapatkan kepastian aturan mana yang bakal diterapkan di Pemilu 2024 mendatang.

Bawaslu harus memetakan wilayah sejak hari ini, bagaimana membendung pengawasan di pelosok daerah yang masyarakatnya masih peka dengan praktik money politik.

Bukan tidak mungkin praktek curang yang dilakukan kader/tokoh politik bakal semakin marak terjadi di Pemilu mendatang.