Terakhir Tahun 1861, Gerhana Matahari Cincin Kini Bisa Dilihat Dari Tanjungpinang

Tanjungpinang – Fenomena alam, Gerhana Matahari Cincin yang terjadi pada akhir tahun ini diprediksi akan melintasi wilayah Indonesia, termasuk di Kepulauan Riau (Kepri). Kali ini, Tanjungpinang menjadi pusat pengamatan oleh tim Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung (ITB) pada peristiwa tersebut.
Untuk diketahui, Gerhana Matahari Cincin ini bisa terjadi saat kondisi Matahari, Bulan, dan Bumi berada dalam posisi segaris. Dan saat itu juga, Bulan sedang berada di titik terjauh dari Bumi. Fenomena ini akan kembali terjadi dalam rentang waktu hingga ratusan tahun.
“Fenomena yang persis seperti ini, Gerhana Matahari Cincin juga, lokasinya lewat sangat mirip, jadi gak sama persis, itu di tahun 1861, lama kan,” kata Kepala Observatorium Bosscha, Institut Teknologi Bandung (ITB), Premana Wardayanti Premadi saat ditemui di aula SMP Negeri 4 Tanjungpinang, Jumat (23/8).
Premana menuturkan, bahwa Gerhana Matahari Cincin ini diprediksi terjadi pada 26 Desember mendatang dan tidak semua wilayah di Indonesia bisa menyaksikan fenomena alam tersebut. Sejauh ini, wilayah-wilayah yang mampu melihat Gerhana Matahari Cincin secara sempurna yakni di wilayah Sumatera sebagian, Kepulauan Riau dan Kalimantan sebagian.
“Tanjungpinang nanti 100 persen, jadi 100 persen dalam pengertian matahari akan membentuk cincin sempurna, bukan matahari total, kalau totalkan gelap, kalau ini bagian luarnya saja akan kelihatan seperti cincin,” ungkapnya.
Selain itu, kata Premana, Gerhana Matahari Cincin nantinya akan terjadi dari pukul 10.00 WIB hingga 14.00 WIB. “Nanti puncaknya sekitar pukul 12.00 WIB, itu hanya beberapa menit, mungkin 2 menit tapi saya kurang ingat, itu makanya kalau guru-guru, dia sama muridnya sambil belajar, bisa melakukan aktivitas lainnya,” ujarnya.
Pada kondisi Gerhana Matahari Cincin ini, kata Premana, masyarakat tidak dianjurkan melihat peristiwa itu dengan mata telanjang atau harus menggunakan alat pelindung. Karena, mata manusia diibaratkan seperti sensor pada kamera yang jika dibiarkan selalu terbuka ketika melihat cahaya, maka akan terus membakar.
“Efeknya kurang bagus bagi mata ketika dilihat secara langsung, jadi harus selalu pakai pelindung,” imbuhnya.
Untuk itu, kata Premana, pihaknya memberikan sedikit pemahaman kepada guru-guru di Tanjungpinang terkait adanya fenomena tersebut. Ia ingin, guru-guru yang sudah diberikan pengetahuan oleh tim Observatorium Bosscha ini agar bisa membantu timnya dalam mengedukasi masyarakat, terutama siswa-siswi yang ada di Kota Tanjungpinang.
“Guru ini diharapkan bisa menjadi fasilitator, karena tim kami tidak banyak, biasanya kejadian ini banyak sekali orang, kita ambillah kesempatan ini untuk memperkaya pengalaman guru didalam sektor bumi antariksa,” ujarnya.
Premana menambahkan, bahwa sebenarnya fenomena ini bisa dijadikan momentum bersama yang kemas sedemikian rupa untuk lebih bermanfaat bagi semua sektor.
“Kami mau, masyarakat di Kepulauan Riau dan Sumatera itu betul-betul menyambut ini menjadi acara yang menggembirakan buat semua, dan pendidikannya juga jadi ikut,” pungkasnya. (Alt)