Tidur di Atas Sampah

Tidur di Atas Sampah
Seorang wanita yang berkunjung ke rumah tetangganya, di salah satu sudut RW 04, Kelurahan Tanjung Uma, Kecamatan Lubuk Baja, Batam. (Foto: Muhamad Ishlahuddin)

BATAM – Tiga orang wanita sedang asyik duduk di salah satu gang pelantar kecil, berukuran kurang lebih satu meter. Dua orang terlihat sedang mencari kutu, sembari tertawa sumringah, entah apa yang sedang mereka bicangkan. Seorang lagi terlihat sedang bermain dengan anaknya yang masih kecil, sesekali terlihat tertawa ke arah ibunya.

Di ujung pelantar, lima bocah laki-laki dan satu orang gadis kecil tampak asyik juga bermain air. Mereka menimba air laut yang telah menghitam dan berbau karena limbah sampah dengan botol plastik bekas. Mereka ikat bagian kepala botolnya dengan benang gelasan. Mereka lempar ke laut, hinga botol terisi penuh dengan air. Diangkat, lalu dibuang airnya, terus berkali-kali mereka mengulangnya, sembari tertawa girang.

Tidak ada rasa risih, padahal, aroma tak sedap dari air hitam di bawah pelantar rumah mereka menyengat tercium saat kami berjalan sedari awal masuk dari gapura Kampung Agas. Begitu juga dengan lautan sampah di bawahnya. Mereka seakan biasa saja.

Begitulah pemandangan sore itu, Kamis, 9 Juni 2022 di salah satu sudut RW 04 Kampung Agas, Kelurahan Tanjung Uma, Kecamatan Lubuk Baja, Kota Batam.

Saat akan keluar gang, kutanya pada seorang ibu, soal aroma tak sedap dari laut yang begitu jelas tercium. “Biase aje, mane ade bau. Tengoklah budak-budak itu, sedap aje main kat pelantar tu,” jawab seorang ibu sembari tertawa.

Wilayah Kampung Agas, Tanjung Uma yang terdampak sampah laut. Sampah ini telah mengendap belasan hingga puluhan tahun lamanya. Kampung ini memiliki luasa kurang lebih sekitar 8 hektare, menghubungkan Pasar Kampung Agas di ujung barat dan Puskesmas Lubuk Baja di ujung timur. Ada sekitar 8000 orang yang mendiami kampung dan tersebar di 5 RT dalam lingkup RW 4, Kelurahan Tanjung Uma.

Bagi orang yang baru pertama kali datang ke lokasi ini, biasanya aroma tak sedap yang berasal dari tumpukan sampah di bawah pelantar akan segera tercium. Namun, setelah beberapa lama, secara alami indera pembau kita akan terbiasa. Hal inilah yang terjadi pada warga di Kampung Agas, Tanjung Uma. Bertahun-tahun tinggal di lokasi ini membuat warga kebal dengan dampak jangka pendek sampah berupa bau tak sedap.

Abdul Karim Aziz, lelaki 72 tahun itu, sedang asik duduk di atas kursi ruang tamu rumahnya, sembari menikmati secangkir teh buatan anaknya saat kami temui. Abdul adalah mantan Ketua RW 04 Kampung Agas yang menjabat 27 tahun. Ia sudah mengenal betul berbagai masalah di sana. Salah satunya masalah lautan sampah di bawah rumah warganya.

Saat ia baru pertama pindah ke Tanjung Uma di tahun 1979, air laut masih jernih, pasir masih putih, anak-anak masih bebas untuk berenang. Namun, masuk era tahun 90-an, sampah mulai mengotori kampungnya. Bahkan sudah tak terkendali dan semakin banyak menumpuk memenuhi bawah rumah warga. Sampah di bawah rumah warga menurut Abdul berasal dari kawasan Pasar Induk Jodoh dan TOS 3000 yang berjarak kurang lebih 5 kilometer dari Kampung Agas, ada juga berasal dari parit besar di daerah Nagoya.

Aroma tak sedap dengan hamparan lautan sampah menjadi fenomena biasa yang sudah mereka rasakan belasan bahkan hingga puluhan tahun lalu. Ini membuat mereka menjadi terbiasa dengan situasi seperti ini. “Kite ini sudah pulohan taon macam gini. Kalau awal-awal dulu, memang tak sedap juge ciom bau sampah ini kalau air surot, tapi sekarang sudah biase aje,” kata Abdul warga setempat.

Zaman kepemimpinan Ismeth Abdullah sebagai Gubernur Kepri, sempat ada solusi memasang jaring agar sampah tak terlalu banyak datang dari laut, namun sia-sia saja. “Sampah jauh lebeh banyak datang, jadi jareng pon rosak. Berape lamelah jareng tu. Sampah jugak jadi semaken susah nak kite bendong.” katanya.

Selain dari laut, sampah di Kampung Agas juga berasal dari warga yang kesadarannya minim dalam membuang sampah ke tempat pembuangan sementara (TPS), “Bagi masyarakat yang punya kesadaran, die buang sampah di TPS, tapi itu pulak, memang masyarakat kite ni khususnye tepi laut kurang kesadaran itu. Mungkin juga nengok sampah sudah banyak, orang tu jadi ngekot buang juge. Tidak menutup kemungkinan juge, karena kite ini ade di muare sungae, sampah dari hulu sungai Jodoh, Nagoya, ade paret besar bawah DC Mall. Kite nerime dan seolah-olah nyetok, padahal di situ jalan arus, jadi masok-lah bawah kolong tidak keluar lagi.”

Tahun 2018, saat peringatan Hari Peduli Sampah Nasional, 800 orang terdiri dari berbagai instansi pernah melakukan gotong royong membersihkan sampah di Kampung Agas. Namun, usaha itu sia-sia saja, saat air pasang sampah kembali datang dan mengotori bawah rumah warga. Menurut Abdul, itulah kali terakhir masyarakat di kampungnya melakukan gotong royong membersihkan sampah di sana.

“Gotong royong tu memang agak sediket kurang, karene pasang sampah naik, surot sampah mengendap. Masyarakat memandang sampah itu kalau kita bersihkan percume, sebentar air pasang, naik lagi [sampah],” ujar Abdul.

Masalah sampah ini sudah menjadi sebuah kebiasaan, menurutnya, ada satu cara untuk mengatasi permasalahan ini, yakni pengorbanan, “misal bergeser naik siket, baru kite rapikan kampong ini, cuma ini sudah PL [Pemetaan Lahan] perusahan jadi susah juga.”

Sebelum pamit pulang, Abdul membawa kami melihat pondasi rumahnya yang menurutnya pada awal pembangunannya dulu memiliki tinggi 1,5 meter. “Tongkat rumah [tiang pancang] ini dulu 1,5 meter, 50 [sentimeter] ke dalam laot 1 meter ke atas. Sekarang takade lagi, langsung disemen dengan lantai, karene sampah mengendap tadi,” ujarnya.

Saat awal dibangun, rumah Abdul berada di bibir pantai. Namun, kini untuk mencapai bibir pantai, kami harus berjalan sekitar 15 meter dari rumahnya.

Sore itu, Ahad, 12 Juni 2022, menjelang azan magrib berkumandang, Pian (40) yang hendak memarkiran motornya di parkiran motor RW 04 tak sengaja bertemu kami, berbagi cerita bagaimana ia merasa resah dengan sampah yang kian hari semakin tak terkendali. Pernah sekali waktu temannya berkunjung ke rumah, temannya hanya menggelengkan kepala melihat situasi sampah yang ada di sana.
“Memang begini adanya, kita mau bilang apa lagi. Memang kami tidur di atas sampah, jadi ya sudah saya biasa aja,” kata pria jangkung itu.

Pian mungkin bagian kecil dari masyarakat Kampung Agas yang memiliki kesadaran membuang sampah pada tempatnya. Takadanya fasilitas pembuangan sampah terdekat membuat sebagian besar warga lebih memilih cara instan. Membuang sampah ke laut. Tidak adanya akses kendaraan pengangkut sampah juga salah satu faktor lainnya.

Senada dengan Pian, Edi juga mengakui, minimnya kesadaran, ketiadaan fasilitas dan longgarnya peraturan membuat kebiasaan membuang sampah di laut oleh warga Kampung Agas, Tanjung Uma seperti mustahil untuk diselesaikan.

“Diabaikannya” Kampung Agas, dengan fenomena sampah ini menurutnya memiliki kaitan dengan status lahan sengketa yang melekatinya. Ia menunjukkan daerah seberang belakang rumahnya yang sudah direklamasi. Jarak antara rumah terakhir dalam deretan rumah Edi dengan gundukan tanah reklamasi membentang hanya sekitar 10 meter. Maka ia tak heran kalau pemerintah seolah menutup mata atas masalah sampah yang dialami warga.

Hal ini dapat dilacak jauh sampai masa awal Tanjung Uma tersentuh pembangunan pada awal milenium kedua. Saat itu memang Kampung Agas, utamanya RW 4 adalah wilayah yang paling terkena dampak dari reklamasi untuk tujuan pembangunan Pasar Induk Jodoh oleh Otorita Batam (BP Batam).