Tiga Bulan Terlantar di Perairan Myanmar, ABK Asal Batam Bertahan Tanpa Gaji dan Kehabisan Bahan Makanan

Tiga Bulan Terlantar di Perairam Myanmar, ABK Asal Batam Bertahan Tanpa Gaji dan Makanan. (Foto: SS Video)

BATAM – Tujuh anak buah kapal (ABK) asal Batam mengalami nasib memilukan setelah terlantar selama tiga bulan terakhir di atas kapal tanker MT SHI XING yang kini berada di perairan Myanmar. Mereka kini bertahan tanpa gaji, kehabisan bahan makanan, dan ditelantarkan oleh pemilik kapal tanpa kejelasan nasib.

Kisah pilu ini terungkap dalam sebuah video yang diterima ulasan.co, memperlihatkan Chief Engineer kapal, Septia Riski, bersama enam kru lainnya memohon pertolongan kepada pemerintah Indonesia, termasuk KBRI Yangon, Kementerian Luar Negeri, Bakamla, dan BP2MI untuk segera mengevakuasi mereka.

“Kami sudah tiga bulan di sini tanpa kepastian, tanpa gaji. Makanan juga sudah habis sejak 25 September,” ujar Riski lewat sambungan WhatsApp kepada ulasan.co

Riski menceritakan awal mula kisah ini. Ia diajak oleh Juanda, warga Batam sekaligus pemilik kapal, untuk bekerja di kapal tersebut pada awal Mei 2025. Bersama empat kru lainnya, mereka terbang ke Medan dengan biaya dari Juanda.

Setelah semalam menginap di hotel, dua kru tambahan menyusul, dan seluruh kru diberangkatkan ke Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara, tempat MT SHI XING berlabuh pada 5 Mei 2025.

Saat itu, kapal terlihat sudah lama tidak beroperasi. Mereka meminta waktu satu minggu untuk perbaikan dan pembersihan kapal sebelum berangkat ke Malaysia untuk proses docking.

“Selama di Belalawan saya lihat kapal sudah lama tidak beroperasi, lalu kami minta waktu satu minggu kepada owner untuk perbaikan, cleaning dan repair kapal,” katanya.

Rencananya, kapal akan berangkat ke Malaysia untuk proses docking. Namun sebelum berangkat, kapten kapal sempat meminta pihak pemilik kapal untuk memberikan Perjanjian Kerja Laut (PKL), tetapi tidak dipenuhi. Pemilik kapal berjanji PKL akan diberikan setelah kapal tiba di Malaysia.

Kapal akhirnya berangkat ke Teluk Gabung, Pasir Gudang, Malaysia dan tiba pada 1 Juni 2025. Namun setelah 13 hari menunggu di area OPL (Off Port Limit), tepatnya pada 14 Juni 2025 rencana docking dibatalkan.

“Pemilik kapal memutuskan mengalihkan lokasi docking ke Yangon, Myanmar, dengan alasan biaya lebih murah,” ujarnya menyampaikan.

Ia juga mengingat saat hari kedua di Malaysia Juanda sempat menemui mereka dan memberikan uang Rp200 ribu ke masing-masing ABK dengan alasan ia sedang ulang tahun. Ia juga menjanjikan akan memberikan tambahan Seratus Dolar pada bulan depan.

“Kru pun senang dan kami semangat juga bekerja,” katanya menambahkan.

Kapal akhirnya tiba di perairan Myanmar pada 1 Juli 2025, namun hingga kini belum juga masuk ke galangan. Selama itu pula, para kru hanya menerima gaji untuk dua bulan pertama. Sejak 8 Juli, pembayaran gaji terhenti sepenuhnya. Juanda beralasan kehabisan uang karena baru membeli kapal lain. PKL pun tak kunjung diberikan.

Kondisi semakin memburuk sejak akhir September. Makanan habis sejak tanggal 25, dan para kru hanya bisa bertahan dengan memakan nasi dan bawang.

Beberapa di antaranya mulai jatuh sakit. Upaya untuk menghubungi Juanda tidak membuahkan hasil, ia tak bisa dihubungi dan diduga lepas tanggung jawab. Kini, para kru sudah lima bulan bekerja tanpa kepastian dan dalam kondisi yang kian mengkhawatirkan.

“Saya bercerita ini pun sudah tidak fokus lagi bang, mental dan psikis kami sudah ngedrop. Kadang kami ketakutan, saya pun ngeblank kalau bercerita,” kata Riski dengan suara lemah.

Sementara keluarga mereka di Batam juga ikut menanggung beban. Tak ada kiriman nafkah, membuat mereka harus berutang ke sana sini. Anak salah satu kru bahkan sedang sakit, namun permintaan kasbon kepada Juanda tidak digubris.

Para kru sempat menghubungi KBRI di Yangon. Staf KBRI bernama Iqbal akhirnya merespons dan menghubungi Juanda. Juanda berdalih bahwa uang sudah dikirim ke otoritas Myanmar, dan baru akan diserahkan kepada kru setelah proses docking, yang hingga kini tak pernah terealisasi.

Riski juga menghubungi temannya di Bakamla bernama Andi, yang kemudian membantu mengoordinasikan pengiriman suplai makanan melalui seorang staf Kementerian Luar Negeri dan pihak lokal di Myanmar.

Namun kondisi mereka tetap sulit. Kapal tidak bisa merapat ke daratan karena belum menjalani pemeriksaan imigrasi. Bila mereka berinisiatif turun, mereka bisa ditangkap oleh otoritas Myanmar. Sementara kepulangan mereka juga terhambat karena hingga kini tidak memiliki PKL.

Riski mengatakan saat ini sudah ada seorang advokat di Jakarta yang tengah berupaya membantu pemulangan mereka. Namun harapan utama mereka kini tertuju pada pemerintah Indonesia.

“Kami hanya ingin pulang bertemu keluarga. Kami tidak ingin hilang begitu saja. Banyak masalah bang, anak kru ada yang sakit, kami sudah mohon-mohon kepada bos minta kasbon tapi tidak dikasih. Kami cuma ingin pulang,” ujarnya dengan nada putus asa.

Berikut nama ABK Asal Batam yang kini terkatung-katung di perairan Myanmar:

1. Wilem Padoma
2. Roland Mamuko
3. Sudiyanto
4. Heryansah
5. Septia Riski
6. Dede Kustendi
7. Syukri