Usulan Kenaikan Ambang Batas Parlemen Kurang Tepat Dalam Menjaga Demokrasi

Usulan Kenaikan Ambang Batas Parlemen Kurang Tepat Dalam Menjaga Demokrasi
Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan. (ANTARA/HO)

Jakarta – Usulan kenaikan syarat ambang batas parlamen atau parliamentary threshold sebesar 5 persen dinilai kurang tepat dalam menjaga momentum demokrasi.

Hal itu disampaikan Wakil Ketua MPR Syarief Hasan. Ia menilai usulan itu bukan pilihan yang tepat. Menurutnya, usulan tersebut dikhawatirkan akan menghanguskan suara sah rakyat dalam memilih wakil rakyat dan partai yang mengusungnya.

“PT sebesar 4 persen yang sekarang berlaku masih menjadi opsi yang tepat untuk mengakomodir kehendak demokrasi. Ini adalah bentuk kebajikan politik dalam merawat keberagaman politik di Indonesia,” kata Syarief dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.

Dia menilai isu yang paling utama bukan mengutak-atik ambang batas parlemen karena jika kembali dinaikkan, maka sama saja memberangus suara rakyat padahal kehendak demokrasi yang perlu dirawat bersama.

Menurut dia, justru yang terpenting adalah mengevaluasi ambang batas pencalonan presiden atau “presidential threshold” yang membatasi peluang putra/putri terbaik bangsa maju dalam pemilihan presiden.

“Syarat ‘presidential threshold’ 20 persen kursi atau 25 persen suara sah nasional yang sekarang berlaku membatasi pilihan rakyat memilih calon pemimpin,” ujarnya.

Dia menilai, ketentuan “presidential threshold” sebaiknya dihapus saja atau setidaknya semua partai politik yang telah lolos ambang batas parlemen dapat mengajukan calon presiden.

Baca Juga: Ketua MPR: Pancasila Penting Sebagai Mata Pelajaran Wajib

Menurut dia, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.

“Itu adalah ketentuan konstitusi yang jelas dan terang terkait hak dan peluang yang sama oleh setiap partai politik dalam mengajukan calon presiden,” katanya.

Syarief menilai, jika konsisten dengan aturan konstitusi, seharusnya setiap partai politik dapat mengajukan calon presiden. Menurut dia, berbagai pembatasan dan syarat pengajuan minimal 20 persen kursi atau 25 persen suara sebagaimana yang diatur dalam regulasi kepemiluan sebaiknya dievaluasi.

“Aturan itu hanya akan membatasi pilihan politik rakyat, bahkan memunculkan oligarki politik. Padahal salah satu ciri mendasar demokrasi adalah partisipasi politik yang luas dan menyeluruh,” ujarnya.

Syarief mengatakan memang tidak ada alasan kuat dan mendasar untuk tetap memberlakukan aturan “presidential threshold” dan sudah seharusnya aturan itu dihapus.

Selain itu menurut dia, jika memang konsisten bahwa pengajuan capres hanya dilakukan partai politik seperti amanat Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, maka setiap partai politik yang telah lolos ambang batas parlemen punya hak, peluang, dan posisi yang sama dalam mengajukan calon pemimpin bangsa. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *