JAKARTA – Intelijen Brasil melaporkan bakal ada tindakan dari militer Venezuela terhadap Republik Guyana beberapa hari ke depan, menyusul meningkatnya ketegangan terkait masalah sengketa di wilayah Amerika Selatan.
Venezuela menganggap memiliki kepantingan terhadap wilayah Essequibo, wilayah yang luas dan kaya sumber daya alam terletak antara Guyana dan Venezuela telah memicu ketegangan antat kedua negara.
Luas wilayah Essequibo yang menjadi sengketa itu, lebih besar dari luas daratan Yunani. Essequibo adalah rumah bagi penduduk asli Guyana, dan kedua negara mengklaim kedaulatan di atas wilayah tersebut.
Perselisihan Venezuela dan Guyana sedang terjadi yang berpusat di Essequibo. Melansir dari defenceblog, Venezuela bertujuan untuk menentukan masa depannya melalui referendum yang dijadwalkan pada Ahad 3 Desembet 2023, yang bertujuan untuk mengubah Essequibo menjadi negara Venezuela.
Namun, dampak praktis dan hukum dari pemungutan suara itu, termasuk potensinya telah mengubah geopolitik. Sehingga menimbulkan kegelisahan penduduk di wilayah tersebut.
Meliputi area seluas 61.600 mil persegi (159.500 kilometer persegi), Essequibo merupakan dua pertiga wilayah Guyana. Meski demikian, Venezuela secara historis mengklaim wilayah Essequibo, dengan menelusuri kepemilikannya sejak masa kolonial Spanyol.
Perbatasan di wilayah itu sebelumnya ditentukan oleh arbiter internasional pada tahun 1899, pada masa Guyana menjadi koloni Inggris, telah diperebutkan oleh Venezuela untuk jangka waktu yang lama.
Komitmen Venezuela terhadap klaim teritorialnya, berfluktuasi selama bertahun-tahun. Pada tahun 2015, pengumuman ExxonMobil mengenai penemuan minyak signifikan di dekat Essequibo, menghidupkan kembali minat Venezuela terhadap wilayah tersebut.
Batas-batas yang disengketakan diselesaikan melalui arbitrase oleh perwakilan dari Inggris, Rusia, dan Amerika Serikat (AS). AS sebagian mewakili Venezuela dalam diskusi tersebut, karena putusnya hubungan diplomatik Venezuela dengan Inggris.
Pejabat Venezuela menegaskan, tuduhan kolusi antara AS dan Eropa yang bertujuan menipu negaranya. Mereka berpendapat bahwa perjanjian tahun 1966 yang menyelesaikan perselisihan tersebut secara efektif membatalkan arbitrase awal.
Sementara Guyana, satu-satunya negara yang berbahasa Inggris di Amerika Selatan, berpendapat bahwa perjanjian awal memiliki validitas hukum dan kekuatan mengikat. Pada tahun 2018, mereka mengajukan petisi ke Mahkamah Internasional untuk menegaskan pendirian ini.
Referendum yang akan segera terjadi di Venezuela, dan memicu meningkatnya retorika dari kedua negara yang menandakan meningkatnya ketegangan, meningkatkan kekhawatiran akan potensi aksi militer dan ketidakstabilan lebih lanjut di wilayah tersebut.