Wanita, Media, dan Bisnis oleh Boby Julian

Tanjungpinang, Ulasan. Co – Tiga hal membudaya di media yang merusak budaya tanpa disadari oleh kaum Wanita. Hal itu menjadi Ikon yang sudah bertahan cukup lama dan semakin hari semakin bertambah tingkat kuantitasnya. Namun justru itu menjadi biasa yang terbiasa.

Di mata kaum feminis, media menjadi ruang paling identik menjadikan wanita sebagai pemanis. Padahal tidak seharusnya wanita yang dijadikan objek pelaris. Masih banyak cara dan objek lainnya yang bisa dijadikan alat merealisasikan ide dan kreativitas bisnis.

Jean Kilbourne butuh waktu panjang untuk membuktikan masalah di media ini. Sejak tahun 1960, wanita yang pernah menjadi model ini telah mengumpulkan iklan yang menempatkan Wanita sebagai objek. Selama lebih dari 40 tahun, tidak sedikit iklan yang ia kumpulkan yang kemudian membentuk suatu pola yang menunjukkan bahwa iklan selalu menggunakan wanita bukan sebagai model, tetapi membuatnya menjadi objek tontonan yang menarik perhatian banyak orang.

Penelitian yang dilakukan oleh Kilbourne menghasilkan seri film dengan judul “Killing Us Softly: Advertising’s Image of Women” yang mengeksplorasi secara detail keterkaitannya antara periklanan dan beberapa masalah kesehatan masyarakat, termasuk kekerasan terhadap perempuan.

Perlu diketahui juga bahwa bukan hanya Kilbourne yang membahas ini, Rebecca Collins (2011) dalam bukunya yang berjudul “Where Are We Now and Where Should We Go?” mengupas bahwa media hanya memberikan deskripsi wanita yang tidak profesional. Hal tersebut dinilai dari gambar dan video yang hanya menekankan bentuk tubuh wanita. Tentu hal ini tidak hanya memperburuk citra wanita oleh media, tetapi juga mempengaruhi hal-hal lain, seperti mengajari anak-anak yang akhirnya menurunkan kualitas nilai kepribadian dilihat dari sisi moralnya.

Perlahan tetapi pasti, secara tidak langsung media mencuci pikiran bawah sadar siapa saja yang secara sengaja atau tidak melihat atau bahkan memedulikannya. Maraknya tampilan berupa gambar maupun video di media sosial yang mencerminkan wanita sebagai alat pemanis demi meraup keuntungan dengan memperlihatkan wajah, dada, dan paha, tentu bisa menimbulkan banyak perkara bagi generasi muda dan bahkan semuanya. Hal ini tentu saja bertentangan dengan budaya kita sebagai warga negara Indonesia, tetapi justru hal tersebut membudaya di media sosial, dan parahnya lagi banyak wanita-wanita Indonesia yang menjadi bianglalanya.

Di negara yang masih memegang teguh budaya patriarki seperti Indonesia, ternyata mata kamera lebih menyoroti wanita dari lekuk tubuh ketimbang ide dan pemikirannya. Sedangkan wanita bukanlah manusia yang rendah, ia juga berhak untuk menjadi lebih dari segalanya. Namun kaum kapitalis di belakang media, memproyeksi hal itu justru sebagai sesuatu yang sangat menggiurkan dengan memamerkan bentuk visual tubuh wanita dari wajah, dada, hingga paha demi meraup keuntungan.

Media dengan peran dan kekuatan yang luar biasanya mampu membuat pola pemikiran baru tentang apa saja. Dalam hal ini, media secara tidak langsung memberikan pandangan negatif menganai apa artinya menjadi wanita, yakni dengan hanya fokus pada penampilan, pakaian seksi, kulit putih dan halus, menggoda, merayu manja dan sebagainya. Media telah mengubah wanita menjadi objek dan kemudian mentransformasikannya menjadi benda.

Hal ini akan memberi pengaruh besar terhadap anak-anak perempuan yang bisa saja bergagasan menjadi seorang wanita bahwa semuanya tentang penampilan dan tubuh. Begitu juga dengan anak laki-laki yang memiliki kesempatan untuk memusatkan pemikiran mereka tentang gagasan yang diajarkan wanita dalam sebuah media. Demi meraup keuntungan hal ini pun dijadikan bisnis yang hingga sekarang masih digunakan oleh Kaum Kapitalis.