BATAM – Dibalik megahnya Jembatan Tengku Fisabilillah, atau lebih dikenal sebagai Jembatan 1 Barelang (Batam, Rempang dan Galang).
Banyaknya pengunjung Jembatan 1 Barelang, turut membawa berkah bagi penduduk lokal. Banyak warga sekitar yang kini berprofesi menjadi pedagang jagung bakar di sekitar jembatan ini.
Namun, jauh sebelum menjadi destinasi wisata terkenal, kawasan ini hanyalah kebun dan hutan belantara.
Tersebutlah Dorani, seorang pedagang jagung bakar, warga asli Pulau Panjang yang pertama kali berjualan di sekitar jembatan 1 Barelang sejak era 90-an. Meskipun pria kelahiran 1968 ini sudah melewati kepala lima, fisiknya masih tampak kuat, ia pun dengan semangat bercerita.
“Dahulu, suasana di sini tidak seperti sekarang,” ujar Dorani saat berbincang dengan wartawan ulasan.co.
Dorani yang ternyata juga seorang pegiat Budaya Melayu di LAM Batam ini, berbagi kisah, pada tahun 80-an, kawasan sekitar Jembatan 1 Barelang masih berupa kebun-kebun warga yang dikelilingi hutan.
Singkat dia saat itu, Kepulauan Riau masih merupakan bagian dari Provinsi Riau, dan daerah Jembatan 1 masuk ke Kecamatan Batam Timur, sedangkan Jembatan 3 (Rempang dan Galang) masuk Kecamatan Tanjungpinang.
Selain berkebun, banyak warga sekitar yang bekerja sebagai nelayan, bahkan menjual ikan langsung ke Singapura adalah hal yang biasa.
“Dulu belum ada batasan naik pompong sampai kami ke Singapura,” katanya.
Ia kembali mengingat, saat pembangunan jembatan yang dimulai pada tahun 1992 oleh BP Batam, mata pencarian warga pun bertambah, dari nelayan dan pekebun menjadi penyedia jasa angkut material pembangunan jembatan menggunakan pompong.
“Upahnya besar waktu itu, sekali trip bisa dapat Rp20 ribu, sehari bisa 3 trip. Warga juga menyediakan jasa penyebrangan untuk pekerja konstruksi,” ingatnya.
Hingga antara era 1992 hingga 1998, saat kontruksi jembatan hampir rampung, Dorani bersama beberapa warga setempat mulai terfikir untuk berjualan makanan ringan dan jagung bakar di sekitar jembatan.
Ia pun kemudian bergabung dengan para pedagang rantauan Minang dari Sumatera Barat yang juga berniat berjualan di lokasi tersebut.
“Waktu itu hanya ada sekitar 10 pedagang,” ujarnya.
Uniknya lagi, Dorani harus membawa barang dagangannya dari Pulau Panjang menggunakan pompong. Karena minimnya penerangan kala itu, ia menggunakan ‘setrongkeng’ (lampu petromax) saat berjualan.
Ia juga menyebutkan bahwa waktu itu Jembatan 1 Barelang masih sepi pengunjung karena jumlah warga Batam belum sebanyak sekarang. Selain itu, pengunjung juga merasa ‘sanksi’ alias ragu untuk datang karena suasananya yang sunyi.
“Bangunan di sekitar sini belum ada, hanya ada jembatan. Di Dendang Melayu ini semua masih berupa semak belukar,” ungkapnya.
Barulah pada tahun 1998 saat jembatan diresmikan, warga Batam dan wisatawan mulai berdatangan, mengunjungi objek wisata itu.
“Saat itu, sehari bisa jual sekarung jagung isi 100 kalau hari libur,” ungkapnya.
Menurut Dorani, setelah satu dekade, puncaknya terjadi pada tahun 2012 saat Dendang Melayu juga diresmikan. Hal ini semakin menambah daya tarik pengunjung dan mendorong munculnya banyak pedagang baru.
“Pedagang lama tinggal bertiga lagi di sini,” ujarnya.
Kini, Barelang yang dulunya sepi telah menjadi objek wisata wajib. Tidak sulit menemukan pedagang makanan, rumah makan seafood, atau nasi Padang di sekitar jembatan.