Batam – Ada beberapa tempat di Kota Batam memiliki nama yang cukup unik. Salah satunya Dapur 12, sebuah kampung yang berada di Kelurahan Sei Pelunggut, Kecamatan Sagulung, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri).
Dapur 12 merupakan salah satu kampung tua di kota yang dijuluki “Kota Industri” itu. Kampung ini berada tepat di tepi pantai, dan ditempati kurang lebih 300 kepala keluarga (KK).
Mayoritas masyarakat Dapur 12 adalah suku Melayu dan suku Buton. Mereka rata-rata bekerja sebagai nelayan, tapi ada juga yang bekerja sebagai kuli panggul.
Namun, tidak semua orang tahu asal usul dari nama Dapur 12 itu.
“Saya ini masih terlalu muda, saya tahu sekilas aja ceritanya. Ada yang lebih tahu. Mari saya antar,” kata Siri, Siri, Ketua RT 01/RW 09, Dapur 12, Sagulung, Sabtu (15/1).
Baca juga: Taman Atas Laut Ikon Wisata Baru Kampung Tua Tanjung Riau
Siri dengan senang hati menunjukan kediaman orang yang tahu persis cerita Kampung Dapur 12 itu. Namanya, Jaar, warga yang tetua kampung itu.
Jaar sedang asik menikmati hangatnya kopi buatan istrinya dan sebatang rokok yang telah ia bakar di depan rumahnya. Ia pun bercerita tentang asal usul kampung yang saat ini dikenal dengan sebutan Kampung Dapur 12 itu.
“Kalau tahun berapa-berapa itu aku tak ingat, sudah lupa, maklum tidak sekolah,” katanya. Ia juga mengaku tidak ingat tanggal lahirnya.
Namun, ia mengaku masih ingat dengan jelas bagaimana akhirnya kampung tersebut bernama Dapur 12. Sebab, ia adalah salah satu cucu dari orang yang dihormati di kampung itu pada masa lalu, yakni Atok Itam.
Menurut pria paruh baya ini, kisah itu berawal pada tahun 1943, sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaan dari penjajah. Kala itu, ia masih berusia antara 6 sampai 7 tahun.
“Kalau nama aslinya itu dulu Kampong (Kampung) Telok (Teluk) Atok Itam,” ujarnya.
“Karena Atok Itam ini paling besar dan paling tua, orang di sini sepakat namanya dipakai untuk menamai kampung ini,” tambahnya lagi.
Baca juga: Wagub Marlin Serahkan Bantuan Ambulans untuk Kampung Bagan
Dulu itu, di sini hanya terdapat 7 unit rumah. 6 rumah bersuku Melayu dan 1 rumah beretnis Tionghoa. “Di sini itu dulu masih hutan semua, cuma 7 buah rumah itu aja,” tutur pria berkacamata itu.
Orang Tionghoa yang mendiami tempat itu dulunya adalah pendatang di kampung Telok Atok Itam. Setelah lama mendiami tempat itu, orang Tionghoa itu meminta izin kepada Atok Itam untuk membuat dapur arang.
Atok Itam yang merupakan tetua pada masa itu mengizinkan untuk membuat dapur arang. Dapur arang merupakan tempat di mana kayu bakau diolah menjadi arang dan dijual.
“Di sini dulu masih banyak bakau semua, karena orang Cina itu dikasih izin, lalu ditebangnya semua bakau itu. Dibuat dialah dapur arang sebanyak dua belas buah,” kata Jaar bercerita penuh semangat.
Dapur arang tersebut memiliki bentuk mirip seperti rumah Teletubbies, sebuah film anak-anak yang tayang tahun 1997 di Inggris. Dengan tinggi bangunan kurang lebih 7 meter, dapur arang tersebut terbuat dari bahan tanah liat dan bata.
Setelah dapur tersebut dibangun, para pekerjanya kebanyakan dari luar daerah, salah satunya dari suku Buton. Orang-orang tersebut bekerja menggunakan perahu dari tempat asalnya. Setelah mendapatkan hasil, dalam satu sampai dua bulan bekerja, mereka kembali ke kampung halamannya.
“Di sini itu dulu orang jual arangnya itu ke Singapur (Singapura), banyak orang-orang kita Buton ini bekerja di sini. Setelah orang itu dapat upah 50 dolar (Singapore) samapai 100 dolar mereka pulang ke kampungnya. Tapi lama kelamaan mereka mulai ada yang menetap di sini, menikah dan punya keluarga di sini,” tuturnya.
Setelah beroperasinya dapur arang yang berjumlah dua belas tersebut, akhirnya orang lebih mengenal tempat tersebut dengan sebutan Dapur 12 dan nama Telok Atok Itam mulai tidak dikenal orang.
“Dapur 12 pantai lebih tepatnya, kalau sebut Dapur 12 aja, nanti orang taunya di kaveling sana. Padahal Dapur 12 asli itu ada di ujung sini,” ujarnya menegaskan.
Ia menambahkan, kalau dapur yang berjumlah dua belas buah itu sebenarnya sudah tenggelam atau sudah hancur. Warga setempat pernah coba membangun kembali sebanyak enam buah dengan ukuran lebih besar.
Namun karena tak beroperasi akhirnya dirubuhkan warga dan saat ini tersisa dua dapur.
Dapur arang yang tersisa hanya dua buah tersebut berada di tengah pemukiman warga. Terdapat rumah warga di samping kiri dan kanannya. Di depannya berhadapan langsung dengan laut, jalan dan rumah warga, dan lahan kosong di depannya diperuntukan menjadi tempat parkir kendaraan. Di atasnya terdapat sebuah masjid.
“Tinggal bangkai aja lagi, mau dibakar takut rubuh,” kata Jaar sambil tertawa.