Ini Hukum Perkawinan Sedarah di Indonesia, Simak Ulasannya

Hukum
Ilsutrasi hukum. Palu hakim. (Foto: Muhammad Bunga Ashab)

Larangan Menurut KUH Perdata dan Hukum Agama

Menjawab pertanyaan Anda lainnya, peraturan perundang-undangan lain yang mengatur larangan perkawinan sedarah adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”). Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H. dalam bukunya Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama (hal. 61) menjelaskan antara lain bahwa apabila kita melihat kembali pada Pasal 30 KUH Perdata tentang larangan perkawinan, maka perkawinan yang dilarang adalah perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama dengan yang lain bertalian keluarga dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun tidak sah, atau karena perkawinan; dan dalam garis menyimpang, antara saudara laki dan saudara perempuan, sah atau tidak sah.

Hilman (hal. 65-66) juga menjelaskan bahwa menurut Hukum Islam, perkawinan yang dilarang (haram) dapat dibedakan antara yang dilarang untuk selama-lamanya dan untuk sementara waktu. Yang dilarang untuk selama-lamanya adalah perkawinan yang dilakukan karena pertalian darah, pertalian semenda, pertalian susan, dan sebab perzinahan. Perkawinan yang dilarang karena pertalian darah, karena perkawinan antara seorang pria dengan ibunya neneknya (terus ke atas), dengan anak wanitanya, cucu wanita (terus ke bawah), dengan saudara wanita, anak wanita dari saudara pria/wanita (terus ke bawah), perkawinan dengan bibi yaitu saudara wanita dari ibu/ayah, saudara dari nenek atau datuk (terus ke atas).

Akibat hukumnya, menurut Drs. Sudarsono, S.H., M.Si dalam bukunya Hukum Perkawinan Nasional (hal. 111), di dalam Pasal 90 KUH Perdata ditentukan bahwa pembatalan segala perkawinan yang berlangsung dengan menyalahi ketentuan-ketentuan termuat dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33, boleh dituntut (dimintakan pembatalan) baik oleh suami istri itu sendiri, baik oleh orang tua atau keluarga sedarah mereka dalam garis ke atas, baik pula oleh mereka yang berkepentingan atas pembatalan itu, ataupun oleh Kejaksaan. (*)