Ini Hukum Perkawinan Sedarah di Indonesia, Simak Ulasannya

Hukum
Ilsutrasi hukum. Palu hakim. (Foto: Muhammad Bunga Ashab)

Hai Sahabat Ulasan. Pernah dengar perwakinan sedarah? Jika pun ada, mungkin jarang terjadi. Sebab, perwakinan sedarah dilarang di Indonesia.

Lantas, bagaimana hukumnya? Kali ini ulasan.co, mengulasnya baik menurut Undang-Undang (UU) Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, maupun KUH Perdata.

Dilansir dari Hukumonline, Sabtu (25/11), perkawinan itu dilarang antara dua orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

Konsekuensinya, perkawinan itu menjadi batal (dianggap tidak pernah ada). Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.[1] Jika hukum agama dan kepercayaan mengatur bahwa perkawinan sedarah itu dilarang, maka perkawinan sedarah itu tidak sah.

Larangan Menurut UU Perkawinan

Larangan perkawinan sedarah ini dipertegas kembali dalam Pasal 8 UU Perkawinan: perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas, berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya, berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri, berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan, berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang, mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan-perkawinan di atas dan Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari pasal di atas.

Konsekuensi dari perkawinan yang tidak dicatat ini, maka keabsahannya tidak diakui. Staf Ahli Menteri Agama, Tulus, dalam artikel Pencatatan Perkawinan Justru Lindungi Warga Negara menuturkan suatu perkawinan belum dapat diakui keabsahannya jika tidak dicatatkan. Pencatatan itu untuk tertib administrasi, memberikan kepastian hukum bagi status hukum suami, istri, anaknya, dan jaminan perlindungan terhadap hak yang timbul seperti hak waris, hak untuk memperoleh akta kelahiran. Pencatatan ini harus memenuhi syarat dan prosedur dalam UU Perkawinan.

Larangan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.[3] Perkawinan batal apabila perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah semeda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 UU Perkawinan.

Masih soal larangan perkawinan sedarah menurut hukum Islam, Al Quran Surat An Nisa ayat 23 dengan tegas menyatakan larangan perkawinan sedarah, yang artinya:

“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya); (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Larangan perkawinan juga terdapat dalam Pasal 39 butir (1) huruf a KHI, yang menyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :
1. Karena pertalian nasab:
a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau menurunkannya atau keturunannya
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkan
2. Karena pertalian kerabat semenda:
a. dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya
b. dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya
c. dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla ad dukhul
d. dengan seorang wanita bekas istri keturunannya
3. Karena pertalian sesusuan:
a. dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan keatas
e. dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya

Baca juga: Ulasan Perbedaan Pelaporan dan Pengaduan Kasus Hukum

Baca juga: Konsekuensi Hukum dari Tindakan Memasuki Rumah Orang Tanpa Izin, Simak Ulasannya

Ikuti Berita Ulasan.co di Google News