TANJUNGPINANG – Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau (Kejati Kepri) bersinergi dengan Badan Pertanahan untuk memberantas praktik mafia tanah di wilayah hukumnya.
“Mafia tanah semakin marak di Provinsi Kepulauan Riau dan sangat sulit diungkap. Sebab, para mafia tanah dalam melakukan tindak kejahatan terorganisir atau terstruktur, bahkan kejahatan para mafia berlindung di balik oknum aparat penegak hukum dan oknum Pelayan Administrasi Pertanahan,” kata Asisten Intelijen Kejati Kepri selaku Ketua Satuan Tugas (Satgas) Mafia Tanah Kejati Kepri, Dr. Lambok M.J Sidabutar dalam keterangan tertulisnya diterima, Jumat (23/06)
Hal itu disampikan Dr. Lambok saat menjadi narasumber kegiatan “ Sosialisasi Pencegahan dan Penanganan Kejahatan Kasus Pertanahan” digelar Kanwil BPN Kepri di CK Tanjungpinang Hotel, Kamis (22/06).
Dr Lambok menyampaikan, ada kesan bahwa jaringan kinerja mafia tanah ini wajar, sah, dan legal karena melibatkan simbol-simbol pelaksana hukum seperti oknum Notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Aparat Sipil Negara (ASN) di lingkungan Badan Pertanahan Nasional beserta jajarannya ke bawah serta penegak hukum.
Lanjut, kata dia, oknum pelaksana dan penegak hukum dimaksud dapat berkedudukan sebagai bagian dari jaringan kinerja mafia tanah atau mereka hanya menjadi korban dari kinerja mafia tanah serta kemampuan mafia tanah mencari celah dari peraturan perundang-undangan bidang pertanahan. Informasi terkait dengan administrasi pemberian hak atas tanah dan sertifikasi hak atas tanah yang pernah diterbitkan.
“Serta kemampuan mendapatkan alat bukti kepemilikan tanah dan mengidentifikasi tanah-tanah yang ditinggalkan dan dibiarkan tidak termanfaatkan oleh pemegang haknya,” ujarnya.
Dr. Lambok memaparkan tiga pola kinerja para mafia tanah, pertama pola kinerja cenderung bersifat ilegal/kekerasan seperti tindakan pendudukan tanah-tanah kosong untuk memancing pemilik yang sah atau merebut dengan tindakan kekerasan dan diikuti dengan tindakan illegal lainnya untuk mendapatkan dokumen kepemilikan. Kedua, pola kinerja yang seolah legal dengan memanfaatkan dokumen kepemilikan baik yang diperoleh secara illegal maupun legal untuk mendapatkan penguasaan dan kepemilikan tanah.
Terakhir, pola jaringan kinerja yang manapun yang ditempuh di dalamnya pasti akan memasuki phase sengketa atau perkara sebagai tekanan kepada pemilik tanah yang sebenarnya, fase ajakan damai untuk mempercepat perolehan keuntungan, fase penebaran pengaruh kepada pelaksana hukum dan kepada penegak hukum dalam rangka mengamankan posisinya untuk ditetapkan sebagai pemilik, dan semuanya tidak lepas dari permainan dana.
“Untuk memberantas mafia tanah diperlukan strategi khusus dengan instrument penegakan hukum melalui penerapan hukum pidana yaitu Tindak Pidana Pertanahan dan penerapan Pasal 263, 266, 372 dan 378 dan Pasal 55 dan 56 KUHP, dan menerapkan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2010,” katanya.
Selanjutnya, untuk menghentikan modus operandi mafia tanah ini perlu dibuat role model pemberantasan praktik mafia tanah dengan cara mengoptimalkan Satgas Anti Mafia Tanah yang melibatkan unsur akademisi, masyarakat, membuat dan mempertajam sinkronisasi hukum antara hukum pertanahan dan teknologi informasi hukum pidana yang berkaitan dengan masalah pembuktian kepemilikan hak atas tanah.
Kemudian melibatkan pihak kepolisian untuk dapat meminta bantuan misalnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menyusuri aliran dana hasil kejahatan dengan menggunakan delik Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), maka hasil kejahatan dapat dikembalikan kepada pihak yang dirugikan.
Baca juga: Kejati Kepri Tetapkan 2 Tersangka Baru Kasus Proyek Jembatan Tanah Merah