Merawat Masjid Bersejarah Pulau Penyengat

Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat, Tanjungpinang. (Foto:Muhammad Ishlahuddin/Ulasan.co)

Rintik hujan dan angin kencang mengawali perjalanan tim Ulasan Network menuju Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau yang terletak di sebelah timur Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Jumat, 12 Januari 2024.

Terpisah sejauh 2 kilometer dari pusat kota, pulau ini dapat dijangkau menggunakan perahu bermotor atau orang menyebutnya pompong, membutuhkan waktu perjalanan sekitar 15 menit.

Penyengat dari udara tampak mirip seperti buaya, yang sejak dahulu menjadi destinasi wisata yang menghias Kepulauan Riau, menyajikan ragam peninggalan sejarah yang memukau. Di antaranya, gemerlap kejayaan masa lampau terwujud dalam Masjid Raya Sultan Riau yang berdiri dengan megah, diukir dari putih telur sebagai puncak keindahan arsitektur.

Dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, Kota Tanjungpinang, kita bisa melihat bangunan Masjid Raya Sultan Riau yang berwarna kuning cerah terlihat mencolok di antara bangunan-bangunan lainnya di Pulau Penyengat, pulau kecil seluas 240 hektare itu.

Seorang tokoh masyarakat, Raja Haji Abdurrahman mengisahkan masjid itu dirintis pada 1803, seiring dengan dibukanya Pulau Penyengat yang merupakan hadiah pernikahan Raja Hamidah Engku Putri kala menikah dengan Sultan Mahmud Syah.

Pada tahun itu, bentuk masjid jauh lebih kecil dari yang ada saat ini dan bahannya banyak menggunakan kayu.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat Penyengat mengalami pertumbuhan yang semakin padat, hingga akhirnya Yang Dipertuan Muda (YPD) ke VII Kerajaan Riau-Lingga, Raja Abdurrahman bersama dengan semua lapisan masyarakat di Pulau Penyengat melakukan renovasi pada 1 Syawal 1249 hijriah atau 1832 masehi.

Menurutnya, dalam catatan sejarah, masjid tersebut awalnya hanya akan diperbesar. Namun, karena antusiasme masyarakat kala itu, mereka tidak memperbesar, tapi justru bergotong royong membangun baru.

Tak hanya pria, perempuan juga ikut terlibat dalam membangun masjid ini. Menurut Abdurrahman, jika laki-laki bekerja siang, perempuan akan bekerja di malam harinya.

“Jadi 1832 diubahlah masjid ini, dan agak dinaikkanlah, awalnya agak di tepi pantai dan pindah agak ke darat,” kata Raja Haji Abdurrahman.

Masjid itu, merupakan satu-satunya bangunan peninggalan zaman kerajaan Riau-Lingga di Penyengat yang hingga kini masih bisa digunakan oleh masyarakat sekitar.

“Sebagian peninggalan sejarah tinggal puing-puingnya saja lagi,” kata pria sepuh itu.

Keunikan masjid ini terletak pada penggunaan putih telur sebagai campuran untuk merekatkan dindingnya. Pada masa itu, semen belum dikenal, dan batu bata direkatkan dengan campuran pasir, tanah liat, dan kapur.

“Jadi bukan perencanaan dari awal. Waktu itu banyak kirim telur, tapi yang dimakan pekerja kuningnya saja, putihnya dibuang,” kata dia.

Suasana dalam Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat, Tanjungpinang. (Foto:Adly Hanani/Ulasan/co)

Seorang arsitek berdarah India dari Singapura yang mengetahui hal ini mengungkapkan jika putih telur sangat bagus untuk merekatkan campuran dari pasir dan tanah liat dan kapur, hingga akhirnya masjid itu pun dibangun menggunakan putih telur.

“Alhamdulillah sudah sudah mau 200 tahun belum dilakukan renovasi,” kata dia.

Pembangunan masjid ini juga tidak sembarangan. Setiap elemennya sarat akan filosofi ajaran agama Islam. Sepertinya anak tangga yang berjumlah 13, melambangkan 13 rukun salat, 5 buah pintu yang melambangkan waktu salat, dan 6 buah jendela yang menggambarkan rukun iman.

Selain itu, pada atap bangunan masjid ini terdapat 13 buah kubah dan 4 buah menara yang jika dijumlahkan menjadi 17. Angka ini melambangkan jumlah rakaat salat sehari semalam dalam Islam.

“Ada juga empat buah tiang melambangkan Islam itu kuat sekali dengan empat mazhab. Jadi bangunan ini dengan empat buah bangunan ini menjadi kuat dan kokoh,” kata dia.

Luas keseluruhan kompleks masjid tersebut saat ini sekitar 54,4 x 32,2 meter. Bangunan induknya berukuran 29,3 x 19,5 meter.

Abdurrahman mengatakan, di halaman masjid terdapat dua buah rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat menyelenggarakan musyawarah. Selain itu, di halaman masjid juga terdapat dua balai, tempat menyajikan makanan ketika ada kenduri dan untuk berbuka puasa ketika bulan Ramadan tiba.

Di dalam masjid juga terdapat Al-Quran ditulis tangan oleh Abdurrahman Stambul pada tahun 1867. Abdurrahman Stambul merupakan pemuda Pulau Penyengat yang disekolahkan Kerajaan untuk belajar Islam di Istambul Turki.

Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat, Tanjungpinang, bukanlah sekadar bangunan bersejarah. Ia adalah saksi bisu perjalanan waktu, penyimpan kisah-kisah gemilang dan guratan perjalanan panjang sebuah kerajaan.