OJK: Anak Muda Indonesia Doyan Pinjol

OJK
Suasana kegiatan OJK Goes to Campus: Penguatan Governansi Sektor Jasa Keungan. (Foto: Muhamad Ishlahuddin)

BATAM – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Republik Indonesia (RI) mencatat anak muda di Indonesia merupakan kelompok mayoritas penerima pinjaman online (pinjol).

Hal itu mengacu data OJK Juni 2023, jumlah rekening penerima pinjol aktif berusia 19 sampai 34 tahun mencapai 10,91 juta penerima dengan nilai pinjaman mencapai Rp26,87 triliun.

Urutan kedua yakni usia 35 sampai 54 tahun dengan 6.49 juta penerima, dengan nilai pinjaman mencapai Rp17,98 triliun. Sementara jumlah peminjam usia 54 tahun ke atas berjumlah 686.354 penerima, dengan nilai pinjaman mencapai Rp2 triliun.

Ketua Dewan Audit Merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK, Shophia Wattimena mengatakan, anak muda atau generasi melenial menjadi sasaran empuk terjerat pinjol.

Menurutnya, gaya hidup menjadi faktor penyebab generasi muda terjebak berbagai pinjaman, tanpa mengetahui legalitas pinjol.

“Sebelum berniat untuk pinjol kenali dulu legalitas dan logisnya (2L). Penguatan keuangan itu adalah pondasi, jadi penting sekali tata kelola keuangan dimulai dari masanya mahasiswa ini. Jangan sampai pengaruh gaya hidup terjerat pinjol ilegal,” kata Shophia saat menjadi pembicara di OJK Goes to Campuss di Politeknik Negeri Batam, Selasa (29/08).

Generasi muda juga mendapatkan tantangan untuk memiliki tata kelola keuangan yang baik. Sebagai generasi yang rawan terjebak pinjol, mahasiswa diminta menjadi penyampai informasi di keluarga.

“Edukasi orang tua, teman, dan sahabat agar tidak terjerat pinjol ilegal. Tolong dipastikan apakah tempat peminjaman itu legal, dan juga logis dalam memberikan pinjaman,” katanya.

OJK berupaya terus meningkatkan pengawasan keberadaan pinjol ilegal ini. Tahun ini terdapat 584 entitas jasa keuangan yang dihentikan, mayoritas adalah pinjol.

“Secara keseluruhan total ada enam ribu lebih entitas yang sudah dibekukan dan lima ribu lebih itu merupakan pinjol, baru disusul investasi bodong,” kata Shopia.

Selain generasi muda, ada juga profesi guru yang terjerat pinjol. Untuk itu penting sekali tata kelola dalam keuangan. Lanjutnya, pengelolaan keuangan sangat penting dimulai sedini mungkin.

Peningkatan penguatan pengelolaan keuangan ini berdampak dalam pengelolaan keuangan generasi sekarang, yang dinilai rawan terjerat pinjol. Pengaruh gaya hidup yang mewah mendorong anak-anak untuk berlomba-lomba mencari pemasukan.

“Tentunya mereka mau yah gampang, makanya sering mengabaikan legal dan logis tadi. Harus awarness sedini mungkin. Kenali dan ketahui kebutuhan, sehingga bisa terhindar dari jeratan pinjol ilegal,” kata dia.

Fenomena FOMO Jadi Pemicu

Fenomena Fear Of Missing Out (FOMO) adalah suatu kondisi di mana takut ketinggalan jaman, tidak gaul, rawan dialami oleh generasi muda.

Fenomena ini menjadi buruk ketika untuk menjadi orang yang selalu update harus meminjam uang semisal untuk menonton konser, berbelanja baju dan skincare menggunakan Pay Later, atau membeli iPhone dengan sistem pembayaran kredit.

Terkadang, dorongan FOMO ini mengakibatkan banyak remaja terjerat hutang di pinjaman online (pinjol). Hal ini membuat generasi muda (remaja dan mahasiswa) dipandang menjadi generasi yang rawan terdampak risiko negatif pinjol.

Beberapa mahasiswa dari Politeknik Negeri Batam pun berkomentar mengenai hal ini. Sebagian mahasiswa ini mengaku fenomena FOMO memang ada dalam sebagian besar lingkaran pertemanan mereka.

“FOMO itu pasti ada ya, karena setiap orang pasti ada rasa takut ketinggalan jaman. Kalau anak muda, contohnya, kalau nggak punya hape boba (iPhone) pasti rasanya kurang keren gitu,” ujar Ciara, mahasiswa semester lima Politeknik Negeri Batam.

Baca juga: OJK Goes to Campus: Penguatan Governansi Sektor Jasa Keungan

Mahasiswa berusia 21 tahun ini mengaku belum pernah meminjam uang dari aplikasi pinjol. Namun, dirinya pernah dikirimi pesan singkat dari nomor tak dikenal yang menagih hutang atas nama temannya.

Hal itu menjadi bukti bagi Ciara untuk lebih berhati-hati dalam mengakses pinjol atau aplikasi tak dikenal. Ia berpendapat, aplikasi pinjol ilegal hampir sama seperti penipuan, dan dapat menjerat korbannya secara lebih agresif.

“Untungnya saya sering diedukasi orangtua agar tidak asal meminjam uang di aplikasi-aplikasi online,” jelas Ciara.

Sementara itu, Mahasiswa Polibatam lainnya, Sisca, berpendapat, pinjol tetap bisa dijadikan alternatif untuk meminjam uang. Namun, peminjam harus mengecek terlebih dulu apakah pinjol tersebut legal atau terdaftar dalam OJK.

Penggunaan uang pinjaman pun seharusnya digunakan tidak semata untuk membeli barang-barang konsumtif. Sebab, peminjam harus memperhatikan bagaimana kemampuan keuangannya dalam membayar kembali cicilan pinjaman tersebut.

“Pinjol bisa jadi alternatif kalau legal. Tapi Alhamdulillah saya belum pernah menggunakan pinjol sampai sekarang, semoga ke depannya juga nggak perlu,” ujar Sisca.

Para mahasiswa Politeknik Negeri Batam ini menyampaikan sebenarnya tidak banyak ditemukan teman sebaya yang mengandalkan pinjol. Meski demikian, sistem pembayaran kredit lainnya seperti Shopee Pay Later, Gojek Pay Later, dan lain sebagainya, sudah menjadi hal yang umum untuk memenuhi kebutuhan FOMO. (*)

Ikuti Berita Lainnya diĀ Google News