Pemerintah Disarankan Tunda Subsidi Mobil Listrik di Tengah Ancaman Resesi

Salah satu Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di daerah Tangerang, Banten. (Foto:Ist)

JAKARTA – Ekonom menyarankan pemerintah agar mengkaji ulang terkait rencana program subsidi mobil listrik tahun 2023 ditengah ancaman resesi.

Dengan alasan, APBN RI harus benar-benar kuat untuk menghadapi badai resesi global kini yang mulai mengintai jelang memasuki tahun 2023.

Hal itu disampaikan Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira yang menyebutkan, anggaran subsidi perlu ditinjau ulang untuk program subsidi mobil listrik.

Menurut Bhima Yudhistira, APBN RI tahun depan masih membutuhkan anggaran untuk antisipasi resesi. Misalnya untuk meningkatkan dana ketahanan pangan dan perlindungan sosial masyarakat.

“Ruang fiskal makin sempit, terlebih besaran defisit APBN tidak boleh di atas 3 persen,” kata Bhima Yudhistira, Kamis (22/12).

Bhima menilai, program subsidi mobil listrik belum tepat dan belum menjadi hal yang penting. Terutama mobil hybrid yang masih memakai bahan bakar minyak (BBM) subsidi.

Ia pun menyarankan, subsidi sebaiknya diberikan dalam bentuk konversi dari mobil tua ke kendaraan listrik terutama kepada transportasi publik. Selain itu menambah armada, dan mengkonversi bus atau angkutan kota menjadi berbasis listrik.

“Itu lebih berguna bagi masyarakat sekaligus mengurangi emisi karbon,” kata Bhima.

Baca juga: Sederet Mobil Listrik Ini Bakal Disubsidi Rp80 Juta dari Pemerintah

Bhima juga khawatir jika mobil dan motor listrik disubsidi bisa menambah kemacetan terutama di kota kota besar. Jumlah kepemilikan kendaraan bermotor disebut sudah tembus 150,7 juta unit, artinya lebih dari setengah total mempunyai kendaraan bermotor.

Sebelum menyalurkan subsidi untuk kendaraan listrik, Bhima juga menyarankan, agar pemerintah mempertimbangkan efek dari banjirnya impor komponen dan kendaraan listrik jadi.

Saat ini, banyak mobil dan motor listrik berasal dari impor begitu juga suku cadangnya.

Maka dari itu, lanjut Bhima, besaran tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebagai kategori subsidi kendaraan listrik perlu ditekankan.

Ia juga menekankan, jangan sampai pemerintah memberikan subsidi barang impor dengan menggunakan dana dari APBN.

“Karena masih lempar wacana, sebaiknya dikaji dulu bentuk subsidi yang ideal tanpa jadi beban APBN sekaligus tepat sasaran ke transisi energi,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mempertanyakan, apa yang menjadi dasar pemerintah dalam menentukan kriteria bagi penerima subsidi mobil dan motor listrik.

Mamit mengatakan, saat ini harga kendaraan listrik masih sangat mahal. Sehingga dikhawatirkan yang menikmati subsidi bisa saja hanya orang kaya.

“Kalau masyarakat yang kelas menengah ke bawah enggak bisa beli. Apalagi untuk roda empat yang harganya hanya orang kaya yang mampu membeli,” ujar Mamit dikutip cnnindonesia.

Baca juga: ITS Luncurkan Konsep Mobil Listrik Model Jip Bernama MEvITS