Pemilu dan Angka-Angka

Proses penghitungan Suara di TPS 017 Jalan Pramuka, Kota Tanjungpinang, Kepri. (Foto:Ardiansyah Putra/Ulasan.co)

Reformasi 1998 tidak mengubah pola pemilihan kepala negara, kepala daerah hingga caleg tingkat pusat dan daerah, karena masih diwarnai angka-angka.

Kemenangan maupun kekalahan peserta pemilu, pilkada dan pilpres merupakan konversi suara mayoritas pemilih dalam bentuk angka-angka. Pascapemungutan suara 14 Februari 2024, para peserta pemilu dan pilpres harus melek dengan angka-angka yang tertuang dalam formulir penghitungan suara.

Bahkan sampai pada tahapan rekapitulasi suara, pengurus partai politik, saksi-saksi, peserta pemilu dan pilpres, serta penyelenggara pemilu masih terkutat dengan angka-angka.

Kemudian angka-angka itu pula menjadi dasar bagi KPU RI hingga KPU kabupaten dan kota menetapkan siapa yang berhak duduk sebagai kepala negara, anggota legislatif dan senator. Angka-angka hasil pemilu itu menggiring para peserta pemilu dan pilpres berkuasa di pemerintahan.

Tentu, angka-angka yang diolah berjenjang mulai dari Tempat Pemungutan Suara (TPS), tingkat kelurahan dan kecamatan, kabupaten dan kota, provinsi hingga tingkat pusat itu tidak selalu menimbulkan rasa bahagia. Justru sebagian besar di antara peserta pemilu, dan dua dari tiga peserta pilpres merasa kecewa, sedih, depresi dan frustasi.

Angka-angka dalam pemilu dan pilpres dalam sejarah pesta demokrasi di Indonesia pascareformasi kerap menimbulkan pergesekan politik akibat perubahan jumlah yang menyebabkan sebagian peserta pemilu dan pilpres merasa dirugikan.

Perubahan angka perolehan suara menjadi sumber utama tudingan bahwa hasil pemilu dan pilpres itu curang. Hasil rekapitulasi suara berjenjang, yang angkanya tidak selalu sama menyebabkan suhu politik meningkat.

Perubahan perolehan suara itu menyebabkan sebagian pihak yang berkompetisi dalam pesta demokrasi merasa diuntungkan, namun sebagian lagi tentu tidak dapat legowo menerima kekalahan.

Akibat angka-angka yang dianggap mengotori formulir hasil rekapitulasi suara tersebut berbagai bentuk perlawanan dilakukan, mulai dari laporan ke pihak yang berwenang yakni Bawaslu RI atau jajarannya hingga ke Mahkamah Konstitusi.

Jejak sejarah Pemilu 2019, jelas menggambarkan cerita panas di sejumlah kawasan di Jakarta yang berlangsung mulai 21-22 Mei. Kisah pilu tak pelak dalam drama kerusuhan pemilu saat itu. Ada 9 orang yang meninggal dunia, dan lebih 450 orang ditangkap polisi dalam kerusuhan pemilu tersebut.

Puluhan kendaraan hancur, dan banyak aset kantor yang rusak parah akibat kerusuhan tersebut.

Kondisi itu pula menggambarkan bahwa angka-angka dalam pemilu berhasil menodai pesta rakyat, dan menjadikan jalan raya sebagai arena pergesekan fisik antara rakyat dengan aparat keamanan.

Ironi memang kondisi tersebut. Pemilu dari, oleh dan untuk rakyat berujung pada aksi kekerasan yang menyebabkan bentrok dengan aparat keamanan.

Lebih ironi lagi bila dilihat dari alokasi anggaran untuk pemilu, misalkan pada Pemilu 2019 sebagai jejak sejarah pertama kali Indonesia menyelenggarakan pesta demokrasi serentak antara Pemilu Legislatif dengan Pilpres.

Berapa anggaran untuk melaksanakan pemungutan suara 17 April 2019? Pemerintah mengalokasikan anggaran yang dikelola KPU RI dan jajarannya untuk penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2019 sebesar Rp25,59 triliun atau naik 61 persen dibanding anggaran untuk Pemilu 2014 sebesar Rp15,62 triliun.

Pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk pengawasan pemilu yang dikelola Bawaslu RI beserta jajarannya sebesar Rp4,85 triliun, naik dibanding 2014 sebesar Rp3,67 triliun, dan anggaran keamanan dialokasikan sebesar Rp3,29 triliun.

Manipulasi Angka

Praktik pemilu konvensional menyebabkan angka-angka lahir dari tulisan orang-orang yang memiliki kepentingan terhadap pemilu.

Mereka adalah penyelenggara pemilu di tingkat bawah hingga atas yang menulis angka di sejumlah formulir yang disediakan. Saksi-saksi dari peserta pemilu dan pilpres juga menulis angka tersebut. Sayangnya, tidak semua peserta pemilu dan pilpres melengkapi saksinya di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Para penulis angka menyebabkan biaya penyelenggaraan pemilu menjadi mahal. KPU RI hingga jajarannya harus mengalokasikan sekitar 60 persen anggaran penyelenggaraan pemilu untuk petugas di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).

Hasil akhir kerja mereka adalah menulis angka dari perolehan suara masing-masing peserta pemilu dan pilpres.

Begitu pula dengan Bawaslu RI dan jajarannya, hampir 60 persen anggaran dialokasikan untuk membayar honor Panwaslu Kecamatan, Pengawas Kelurahan dan Desa, serta Pengawas TPS. Hasil akhir kerja mereka adalah mengawasi pelaksanaan pemilu dan peserta pemilu. Mereka juga menulis perolehan suara peserta pemilu dan pilpres sebagai dasar mengawasi proses pemungutan suara hingga rekapitulasi suara.

Mungkinkah angka berubah? Mungkin. Itu jawaban dari jejak hitam sejarah pemilu selama ini.

Perubahan angka perolehan suara potensial terjadi sejak di-TPS, bahkan sampai rekapitulasi suara tingkat PPK, kabupaten dan kota, provinsi hingga nasional. Peserta pemilu dan pilpres mengkhawatirkan hal tersebut. Bagaimana tidak khawatir seandainya suara yang diperoleh caleg tertentu sebanyak 80 di-TPS berubah menjadi 60 ketika direkapitulasi di-PPK

Baca juga: RSJKO Tanjung Uban Siap Tampung Caleg Depresi Kalah Pemilu 

Begitu pula dengan suara capres tertentu yang hanya memperoleh 86 suara berubah menjadi 886 suara di “real qount” yang dipublikasi di situs resmi KPU RI, pemilu2024.kpu.go.id. Situs Sirekap milik KPU RI yang tidak mampu membaca angka-angka dalam formulir hasil perolehan suara secara maksimal menyebabkan semakin menurunkan tingkat kepercayaan publik kepada lembaga penyelenggara pemilu tersebut.

KPU RI dan jajaran tentu memiliki jawaban atas kekeliruan angka yang terjadi, misalkan baru-baru ini Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari menyampaikan bahwa penyelenggara pemilu di jajarannya juga manusia yang tidak luput dari kesalahan. Ia pun mengucapkan permohonan maaf kepada masyarakat terkait salah konversi untuk membaca data Formulir Model C1-Plano atau catatan hasil penghitungan suara pemilu pada situs Sirekap.

Bagi peserta pemilu dan pilpres atau orang-orang yang diuntungkan akibat kesalahan penghitungan suara tersebut menyerukan agar pelanggaran pemilu dilaporkan kepada Mahkamah Konstitusi. Sementara kepercayaan publik terhadap lembaga itu menurun setelah mengubah syarat calon presiden dan wakil presiden mendekati pilpres.

Namun baik penyelenggara pemilu maupun semua pihak yang memiliki kepentingan terhadap pemilu menaruh kepercayaan kepada KPU RI dan jajarannya untuk bersikap jujur dan adil. Tingkat kepercayaan yang menurun terhadap lembaga yang memproduksi penguasa di negeri ini menimbulkan kerugian material dan immaterial bagi peserta pemilu dan peserta pilkada.

Mereka juga tentu menyadari bahwa selisih suara akibat perubahan angka menyebabkan konflik antarpeserta pemilu dan pilpres, konflik di internal peserta pemilu, serta konflik antara peserta pemilu dan pilpres dengan KPU RI.

Angka Mengubah Pilihan

Angka dalam praktek demokrasi kepemiluan bukan hanya sebatas di atas formulir perolehan suara.

Praktek kepemiluan juga diwarnai dengan angka-angka yang lahir dari pemilih pragmatis. Angka-angka semakin “sakti” mengubah lawan politik dari menang menjadi kalah, begitu pula sebaliknya.

Angka itu berupa rupiah, namun hanya beberapa kasus politik uang yang terungkap di publik. Angka dalam rupiah juga mampu mengubah persepsi publik terhadap figur yang dipilih. Pemilih justru menyematkan peserta pemilu yang melakukan praktek culas itu dengan kata-kata yang positif.

Kemudian itu seakan-akan menjadi biasa sehingga muncul dalam Pemilu 2024 praktek politik uang dalam bentuk paketan peserta pemilu secara berjenjang baik dalam satu partai maupun berbeda yang dikonversi menjadi uang ratusan ribu rupiah untuk satu pemilih.

Praktek suap untuk “membeli” angka pun kerap terjadi dalam setiap pesta demokrasi. Dimulai dengan angka yang mampu mengubah pilihan pemilih pragmatis saat pemungutan suara. Jadi jangan heran bila ada pemilih yang menggunakan hak suaranya untuk mencoblos gambar caleg yang tidak dikenalnya.

Peserta pemilu yang lahir dari keluarga sederhana, dan tidak memiliki jaringan pemilih yang militin potensial tenggelam, meski mereka tokoh yang dikenal publik. Sangat sedikit tokoh publik, misalkan tokoh agama yang berhasil memperoleh suara signifikan dalam pemilu.

Politik kotor dalam pemilu paling tidak menyebabkan tiga permasalahan. Pertama, orang-orang yang sudah mengeluarkan biaya besar menyuap pemilih tetapi gagal meraih suara signifikan kemudian merasa kecewa, depresi dan frustasi terhadap pemilih.

Kedua, orang-orang yang berhasil duduk di kursi legislatif dari hasil politik uang dalam pemilu berpotensi melupakan rakyat karena merasa suara yang diperolehnya tidak gratis.

Terakhir, orang-orang yang ingin berkuasa, namun suaranya tidak mencukupi, potensial melakukan praktek curang dengan melibatkan oknum penyelenggara pemilu dan pihak lainnya untuk mengubah angka dalam perolehan suara. Praktek curang ini pernah terjadi di berbagai daerah.

Digitalisasi Pemilu

Ketua KPU RI Hasyim As’yari yang meminta maaf kepada masyarakat akibat kesalahan konversi angka-angka penghitungan suara di formulir ke situs Sirekap, bukan jawaban yang dapat memuaskan publik. Sebab permohonan maaf itu tidak mengubah kesalahan demi kesalahan yang ditemukan sampai saat ini.

Namun pernyataan Hasyim bahwa “kami juga manusia yang tidak luput dari kesalahan” dapat dijadikan pintu masuk untuk memperbaiki teknis pelaksanaan pemilu, salah satunya dengan mengurangi keterlibatan orang-orang dalam penyelenggaraan pemilu.

Bagaimana caranya? Apakah bisa? Bisa. Sistem pemilu konvensional harus ditingkatkan menjadi digitalisasi. Minimal ada tiga alasan kenapa digitalisasi pemilu harus dilaksanakan terutama dalam proses pungut hitung.

Baca juga: Wacana Hak Angket Pemilu Bergulir di Senayan

Pertama, pemilu yang simultan dengan pilpres selama ini menguras banyak energi. Selain menghabiskan anggaran untuk pembelian logistik dan honorarium penyelenggara pemilu pada badan adhock, juga menyebabkan 894 petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit pada Pemilu 2019.

Pada pemilu kali ini, data sementara mengungkapkan bahwa sekitar 70 orang penyelenggara pemilu meninggal dunia karena menurut Kemenkes sebagian dari mereka kelelahan.

Kedua, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pemilu sebagai bentuk transparansi mulai dari pemungutan suara, penghitungan suara hingga rekapitulasi suara. Hasil pemilu dapat disaksikan, dan KPU RI beserta jajarannya dalam waktu cepat dapat mengumumkan hasil pemilu.

Proses pemungutan hingga rekapitulasi suara berjenjang yang dilakukan secara konvensional menimbulkan kecurigaan publik. Potensi kecurangan pun terbuka terjadi saat berlangsung proses itu.

Ketiga, digitalisasi pemilu dalam proses pungut hitung dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu, sekaligus mencegah konflik. Konflik pemilu salah satunya disebabkan kecurigaan peserta pemilu dan pilpres dalam proses pemungutan suara hingga penetapan hasil terhadap penyelenggara pemilu. (*)

Ikuti Berita Ulasan.co di Google News