Melalui data per TPS yang dimiliki oleh saksi peserta pemilu bisa menjadi kontrol terhadap e-rekap serta menimalisir komplain dari peserta pemilu. Persoalannya tidak semua peserta pemilu mampu menyediakan dan membiayai saksi per TPS karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk saksi.
Besarnya biaya saksi ini bisa diatasi dengan membebankan pembiayaanya pada negara. Sehingga semua peserta pemilu memiliki saksi.
Secara lebih progresif untuk pemilu kedepan perlu dikaji dan rancang pemilu dengan menggunakan e-voting.
Defenisi lain menegaskan bahwa e-voting adalah sistem dimana pencatatan, pemberian suara atau pemilihan suara dalam pemilu politik dan referendumnya melibatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Secara lebih teknis dikemukan oleh Orhan Cetinkaya dan Deniz Cetinkaya mengungkapkan bahwa “E-voting refers to the use of computers or computerised voting equipment to cast ballots in an election”, yang menyatakan e-voting. Berangkat dari penjelasan ini maka e-voting adalah proses pemilihan yang menggunakan teknologi, baik secara keseluruhan atau sebagian tahapan mulai dari memilih, perhitungan dan rekapitulasi suara yang dibantu dengan tekonologi atau elektronik.
Berdasarkan pengalaman negara lain dalam pelaksanaan e-voting dapat dikelompokan menjadi dua. Pertama, model perhitungan dengan mesin scan, pada model ini pemilih tetap memilih secara konvensional dengan cara memberi tanda khusus dikertas suara, kemudian dihitung melalui mesin scan. Model ini kenal dengan Optical scanning atau optical scan voting.
Kedua, semua tahapan pemilihan dilakukan secara elektronik mulai dari memilih, penyimpanan, perhitungan dan rekapitulasi suara dilakukan secara elektronik.
Pertanyaan apakah e-voting dapat digunakan dalam pemilu serentak di Indonesia. Pada lingkup yang lebih kecil sejumlah desa di Indonesia sudah pernah melakukan e-voting dengan bantuan teknologi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Merujuk dari pengalaman pilkades ini sangat mungkin kedepan dalam skala yang lebih besar e-voting untuk dilakukan, tentu harus berpijak pada hasil kajian yang komprehrensif.
Hal lain yang mendukung pelaksanaan e-voting adalah banyaknya penguna internet di Indonesia. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2018 sebanyak 171,17 juta jiwa menggunakan internet, dengan sebaran di Pulau Jawa 55,7 persen, Pulau Sumatera 21,6 persen, Pulau Kalimantan 6,6 persen, Sulawesi, Maluku dan Papua 10,9 persen serta Bali dan Nusa Tenggara 5,2 persen.
Kandas
KPU RI menganggap e-voting bukan kebutuhan prioritas, termasuk tahapan lainnya, kecuali tahapan rekapitulasi. Ketua KPU RI, Ilham Saputra, menyatakan kebutuhan pemilu berdasarkan pengalaman sebelumnya, bukan e-voting, melainkan e-rekap.
Digitalisasi pemilu harus disesuaikan dengan kebutuhan untuk mendukung penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, efektif dan optimal.
Menurut dia e-rekap menutup kemungkinan terjadi kecurangan. Pertama kali dilaksanakan pada pilkada serentak tahun 2020. Hasilnya, cukup memuaskan.
Hasil pemungutan suara yang masuk ke sistem e-rekap mencapai 60 persen pada hari pertama pemungutan suara. Pelanggaran yang terjadi saat pilkada terkait rekapitulasi juga tidak signifikan.
Kendala yang terjadi dalam pelaksanaan e-rekap yakni jaringan internet yang kurang memadai, terutama di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Kondisi ini masih ditemukan di Pulau Jawa, Sumatra dan Papua.
Anggota Badan Pengawas Pemilu Provinsi Kepulauan Riau (Bawaslu Kepri) Indrawan menyebut regulasi sistem rekapitulasi secara elektronik (e-rekap) perlu dipertegas untuk kepentingan penyelenggaraan pemilu.
E-rekap atau aplikasi Sirekap yang dipergunakan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) hanya sebatas alat bantu atau publikasi. Jika terjadi selisih suara hasil penghitungan manual dengan data yang dimasukkan ke dalam sirekap, maka penghitungan ulang dilakukan secara manual.
Pelaksanaan e-rekap semestinya dapat dibenahi, mulai dari ketersediaan fasilitas internet, perangkat, salah input data hingga pelaksanaannya. Itu kendala-kendala yang ditemukan pada pilkada serentak tahun 2020, dapat dievaluasi, dan diperbaiki untuk kepentingan Pemilu serentak 2024.
Desain tahapan pemilu serentak juga dapat diperbaiki, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan. Apalagi regulasi untuk pilkada serentak dan pemilu serentak tahun 2024 sama seperti periode sebelumnya yakni UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada dan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu.
Penyelenggara pemilu lebih banyak waktu untuk mengatur strategi dan melaksanakan tahapan-tahapan pemilu dan pilkada, tidak seperti pesta demokrasi sebelumnya, yang harus menunggu regulasi untuk melaksanakan tahapan pilkada dan pemilu.
Namun ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, contohnya, tahapan kampanye tidak perlu terlalu lama, karena peserta pemilu maupun pilkada lebih banyak memanfaatkan media sosial sebagai sarana kampanye. Regulasi terkait kampanye di media sosial juga perlu dipertegas. (*)