Penasihat Hukum Pj Wali Kota Tanjungpinang: Kliennya Tersangka Terkesan Ada Upaya Paksa

TANJUNGPINANG – Penasihat hukum mantan Pj Wali Kota Tanjungpinang, Hasan, Hendie Devitra, angkat bicara soal kasus yang menjerat kliennya di Polres Bintan.

Hendie menyebut kasus kliennya bukan hanya equality before the law semata atau semua manusia setara di mata hukum. Tetapi, menurutnya, ada upaya paksa terhadap penetapan tersangka kliennya terkait kasus dugaan pemalsuan surat lahan yang dilaporkan Direktur Operasional PT Bintan Properti Indo, Constantyn Barail.

“Penetapan tersangka itu, karena itu upaya paksa, yang namanya upaya paksa sepatutnya menurut hukum harus didasarkan pada dua alat bukti yang cukup dan didukung barang bukti,” ujar Hendie di Tanjungpinang, Kamis 13 Juni 2024.

Ia menjelaskan, kronologi singkat masalah lahan yang menjerat kliennya. Berawal dari PT Expasindo Raya mendapat pencadangan lahan berdasarkan surat keputusan Gubernur Riau tanggal 8 Agustus 1991 tentang pencadangan tanah lebih kurang 100 hektare di Kampung Sungai Lekop, Kecamatan Bintan Timur.

Selanjutnya PT Expasindo Raya melakukan pembebasan lahan yang dikuasai masyarakat dengan cara membayar ganti rugi yang selanjutnya pelepasan hak atas tanahnya 94 persil  dengan luas lebih kurang 101 hektare.

“Namun, saat itu tidak semua lahan masyarakat dibebaskan. Masih ada beberapa lahan milik warga yang tidak dibebaskan,” ujarnya.

Lanjut, kata Hendie, sejak dilakukan pembebasan sampai dilakukan pengoperan/pelepasan tanah yang dibebaskan PT Expasindo Raya kepada PT Bintan Properti Indo berdasarkan akta-akta pelepasan hak atas tanah yang dibuat pada 2019.

“Telah lewat waktu selama 28 tahun tidak pernah dikuasai, dimanfaatkan, ataupun dilakukan pendaftaran hak guna bangunan sebagaimana yang seharusnya dilakukan sesuai perundang-undangan,” kata Hendie.

“Tanah-tanah yang telah dibebaskan itu banyak sudah dikuasai dan penggarapan oleh masyarakat, baik yang memiliki surat-surat (alas hak) maupun tidak,” katanya lagi.

Kemudian di tahun 2010 sampai Januari 2012, Hasan menjabat sebagai Lurah Sei Lekop, serta di tahun 2014 sampai Februari 2016 menjabat Camat Bintan Timur. Saat Hasan menjabat camat waktu itu,  PT Expasindo Raya mengajukan permohonan penunjukan batas tanah yang dibebaskannya. “Atas permintaan itu, klien kami membentuk tim untuk melakukan permohonan itu,” ujarnya.

Dari permohonan itu, pada 15 September 2014, kata Hendie, PT Expasindo Raya membuat pernyataan bahwa mereka mengakui di dalam peta global yang dimiliki perusahaan masih ada lahan warga belum dibebaskan. PT Expasindo Raya bersedia menerima dan tidak menuntut terhadap lahan yang telah dimiliki masyarakat dari peta atau hasil pengukuran sesuai acara berita turun lapangan. Apabila peta hasil turun lapangan sesuai berita acara terdapat garapan masyarakat yang belum bersurat maka akan dilakukan mediasi sebagaimana mestinya.

“Klien kami tidak tahu telah terjadi pengoperan lahan dari PT Expasindo Raya kepada PT Bintan Properti Indo,” ujarnya.

Kemudian, kata Hendie, PT Bintan Properti Indo bersama kantor pertanahan melakukan pengukuran tanpa sepengetahuan pihak kecamatan, kelurahan dan perangkat RT/RW. Dari pengukuran ulang lahan itu sehingga diterbitkan sertifikat Hak Guna Bagunan (HGB) termasuk di dalamnya beberapa lahan milik warga yang belum dibebaskan PT Expasindo Raya.

“Bahwa sertifikat HGB tersebut meliputi bidang-bidang tanah masyarakat yang tidak dibebaskan dan bahkan tumpang tindih dengan sertifikat HGB atas tanah milik PT Tenaga Listrik Bintan dan beberapa SHM masyarakat,” ujarnya.

Atas penjelasan itu, kaitannya dengan Hasan saat menjabat Camat Bintan Timur ada menandatangani penerbitan surat keterangan pengoperan dan penguasaan tanah (SKPPT) pada tahun 2014 sebanyak lima persil berdasarkan riwayat SKPPT yang dikeluarkan pejabat sebelumnya.

“Klien kami memang ada menandatangani SKPPT saat menjabat camat. Di sinilah timbul persoalan yang disebut diduga memalsukan surat,” ujarnya.

Ia meminta masyarakat tidak berasumsi soal pemalsuan surat itu. Ia menyampaikan bentuk-bentuk pemalsuan surat dalam hukum ada dua, ada pemalsuan surat yang sifatnya fisik, yakni tanda tangan dirubah, palsu atau keterangannya. “Dalam konteks ini saya melihat keadaannya semua tanda tangan itu sah dari pihak-pihak yang punya kewenangan,” ujarnya.

Selanjutnya, kata Hendie, ada dugaan pemalsuan surat bersifat substansi, isi atau materinya, seolah-olah isinya tidak benar.

“Di situlah letaknya sengketa, di mana ada persoalan penguasaan tanah yang tidak diganti rugi, tapi dikeluarkan SKPT yang diduga palsu, kemudian ada dasar pelapor menguasai sebidang tanah dengan SKT, berbeda halnya kalau bidang tanah itu sudah mempunyai status hak, seperti HGB dan hak milik,” ujarnya.

Karena di situ ada sengketa, ada masyarakat yang menggugat, maka Hendie kembali menghubungkan keadaan kepada perjanjian pelepasan hak tanah antara PT Expasindo Raya kepada PT Bintan Properti Indo.

“Yang diawal waktu mereka menerima pelepasan Expasindo menyatakan mengetahui keadaan tanah itu, baik mengenai luas, batas dan keadaannya. Sebab, katanya, Expasindo sudah menyatakan keadaan tanah tersebut,” katanya.

Atas kondisi itu, ia memohon juga supaya menjadi pertimbangan dalam penyidikan itu, supaya tidak terkesan bahwa proses pidana untuk memperleha.

“Kalau dikaitkan kepada perolehan hak, ada ruang yang lebih tepat ranah peradilan perdata, siapa yang lebih berhak di antara dua pemegang hak itu, itulah dasar keberatan saya terhadap penahanan Hasan (kliennya),” ujarnya.

Faktanya sekarang, lanjut Hendie, ada gugatan perdata oleh Darma Parlindungan sebagai penggugat terhadap PT Expasindo Raya (tergugat I), PT Bintan Properti Indo (Tergugat II) dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bintan (tergugat III).

“Jika seandainya nanti perdata itu benar haknya Darma Parlindungan selaku penggugat, terus apakah objek SKPT yang dilakukan Hasan terhadap bidang tanah itu palsu,” ujarnya.

Baca juga: Alasan Polres Bintan Tahan Mantan Pj Wali Kota Tanjungpinang

Baca juga: Hasan Ditahan Polres Bintan

Ia menyandarkan ketentuan hukum Pasal 81 KUHP juncto Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956 tentang apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus menentukan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang ada atau tidak adanya hak perdata itu.

“Itulah mengapa dengan adanya sengketa perdata itu, kami mohon kepada aparat penegak hukum, karena pemeriksaan ini tidak hanya berhenti di kepolisian saja, akan ada nanti penuntutan dan pengadilan, barulah di situ lihat akhirnya apakah benar tersangka atau terdakwa Hasan bersalah atau tidak” ujarnya.

Ia berharap supaya aparat penegak hukum objektif supaya betul-betul dilaksanakan, sehingga nantinya tujuan dari penegakan hukum itu terpenuhi azas kepastian hukum, rasa keadilan hukum dan kemanfaatan hukum. (*)

Ikuti Berita Ulasan.co di Google News