BATAM – Pelaku industri hotel dan restoran di Indonesia mengeluhkan maraknya kehadiran ‘pemain asing’ dalam industri pariwisata. Salah satunya online travel agent (OTA) yang jumlahnya kian menjamur dan dikelola secara otomatis dan lintas border.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani mengaku khawatir, keberadaan OTA asing tersebut lambat laun dapat menggerogoti pasar pariwisata di Indonesia karena tidak mengikuti aturan perpajakan.
“Mereka (OTA asing) tidak mengikuti aturan perpajakan Indonesia, karena mereka tidak punya badan usaha di sini, maka Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak bisa menagih pajaknya,” ucap Hariyadi saat menghadiri Rakernas IV PHRI di Swiss Belhotel Harbourbay, Kota Batam, Kepulauan Riau, Kamis 22 Februari 2024.
Ia mencontohkan, OTA lokal seperti Traveloka, Tiket.com dan Pegipegi telah mensinkronisasikan penghitungan pajak penghasilan (PPh) secara langsung, sehingga pembayaran komisi untuk OTA lokal sudah termasuk pajak. Sementara OTA asing tidak mengurus pembayaran PPh dalam perolehan komisinya, sehingga pajak tersebut dibebankan kepada hotel dan restoran.
“OTA asing itu tidak mau tahu soal pembayaran pajak itu. Misalnya, jika ada transaksi masuk Rp1 juta dan mereka dapat komisi 15 persen, yang bayar pajaknya adalah kami (pihak hotel),” sesalnya.
Baca juga: Gelar Rakernas di Batam, PHRI Komitmen Perkuat Ekosistem Pariwisata Indonesia
Haryadi menjelaskan, dari seluruh pemesanan hotel secara nasional, sebanyak 40 persennya menggunakan jasa OTA. Dari porsi tersebut, 60 persen pemesanan dilakukan melalui OTA lokal dan 40 persen melalui OTA asing.
“Kami sudah menyampaikan kendala ini pada pihak DJP sejak tahun 2017, namun sampai hari ini responnya belum terlihat. Kami tidak menolak adanya OTA asing, tetapi kami harap regulasinya adil,” pungkasnya. (*)
Ikuti Berita Ulasan.co di Google News