Sebuah cerita antah-berantah yang sampai kini masih berlaku mitosnya, terletak di ujung Pulau Kundur tepatnya di Desa Gemuruh Kecamatan Kundur Barat. Kisah tersebut terjadi lebih dari 300 tahun yang lalu. Dahulu kala, ada sumpah yang diucapkan oleh seorang Datuk yang bekerja sebagai petani karet di sebuah hutan rimba yang dipenuhi dengan pohon Meriye dan satu pohon besar yaitu pohon Leban. Sumpah tersebut dikatakan olehnya karena ada niat buruk seorang Lanun yang melarikan diri dari Pulau Karimun.
Pada masa itu, hutan tersebut hanya dihuni oleh satu keluarga saja. Keluarga Datuk tersebutlah orang pertama yang tinggal di hutan itu. Sebelum kedatangan Lanun, keadaan hutan yang tidak jauh dari laut terasa aman-aman saja. Tumbuhan yang tumbuh tidak terlihat rusak dan tampak begitu indah meskipun hutannya rimba.
Suatu hari datanglah seorang Lanun yang awalnya mengaku hanya berkunjung. Datuk bersama keluarga menyambut dengan ramah-tamah. Lanun tersebut diizinkan menginap dan mengelilingi hutan yang dipenuhi dengan pohon Meriye. Kala itu Datuk sama sekali tidak menyangka ternyata orang yang sedang berkunjung tersebut adalah seorang Lanun yang sedang melarikan diri.
Setelah kedatagan lanun, keadaan hutan tiba-tiba berubah. Pada hari pertama, salah satu pohon besar yang disebut dengan pohon Leban menunjukkan tanda-tanda yang aneh. Tidak biasanya pohon itu bergemuruh di kala Subuh hari. Anehnya, hanya pohon itu saja meskipun ia dikelilingi pohon-pohon besar lainnya. Pohon itu tidak jauh dari pondok tempat tinggal Datuk. Kebisingan gemuruh angin kala Subuh membuat Datuk khawatir. Namun Datuk masih belum tahu sebab-akibat Pohon besar itu bisa begitu.
Hari kedua, pohon tersebut yang tidak pernah bergemuruh di kala sore menjelang Magrib, tetapi waktu itu ia bergemuruh hebat bahkan lebih hebat dari sebelumnya. Lagi-lagi, Datuk masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam hutan.
“Ya Allah, ape yang sebenarnye terjadi dalam hutan ni. Mengape Leban itu macamnye marah sekali? Ade ape sebenarnye, Ya Allah,” ungkap Datuk kala itu.
Beberpa menit setelah itu, seorang Lanun yang mengaku berkunjung itu pulang dari hutan, “Datuk, hutan ini indah sekali,” sapanya kepada Datuk yang sedang terdiam.
“Benar, Tuan. Hutan ini memang indah dan sudah semestinye harus dijage,” jawab Datuk dengan lembut tanpa berprasangka buruk.
Keesokan harinya, tepat di hari ketiga Lanun itu berada di dalam hutan. Datuk mendengar sebuah kabar dari salah satu nelayan yang kala itu sedang beristirahat di tepi laut. Datuk yang sedang mengelilingi hutan, menghampirinya ketika melihat ada seseorang yang sedang bersandar lelah di sebuah pohon besar.
“Sedang ape, Tuan? Ade yang bise saye bantu?” Tanya Datuk.
“Tak ade, Tuk. Saye cume khawatir, angin di laut ribut sangat. Padahal belum masenye musim ribut,” jawabnya.
“Akhir-akhir ini, sejak ade tamu datang kemari, memang cuace agak berbede. Pohon Leban yang besar itu yang tak pernah bergemuruh, dah due hari ini bergemuruh,” ungkap Datuk.
“Mohon ampun, Datuk. Kalau Saye boleh tahu, siape tamu yang Datuk maksud?” Tanyanya.
“Saye kurang tahu. Die hanye berkate kalau die dari Pulau sebrang (Karimun),” jawab Datuk.
“Dari Karimun? Jangan-jangan itu Lanun yang melarikan diri, Datuk,” spontan Nelayan itu berkata.
Mendengar hal tersebut, Datuk pun langsung bersumpah. Ia khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam hutan yang selama ini selalu terjaga. Ia tidak ingin hutan tersebut ternoda.
“Jike benar die adelah Lanun yang sedang melarikan diri dengan tujuan tak baek berlindung di sini, make saye bersumpah turun-temurun bahwasenye tak ade satupun manusie yang selamat jike datang kemari dengan tujuan tak baek”. Lebih kurang seperti itulah sumpah turunan yang diucapkan Datuk sambil memejamkan matanya.
Selang beberapa menit setelah sumpah itu dilontarkan, tiba-tiba badai gemuruh datang. Pohon Leban yang tumbuh besar di dalam hutan tersebut seakan mengamuk. Nelayan yang mendengar sumpah Datuk, hanya terdiam. Di saat yang sama, aroma meriye terhirup di hutan tersebut. Datuk pun langsung bergegas pulang.
Setibanya di rumah, Datuk menceritakan hal tersebut kepada keluarganya. Ia juga mengatakan bahwa seseorang yang berkunjung itu adalah seorang Lanun yang sedang melarikan diri. Ia menceritakan perjalanan pulang setelah ia bersumpah bahwa ketika ia melewati Pohon Leban yang besar, tubuh pohon tersebut ada luka seperti hendak ditebang. Ia pun mengatakan bahwa jika Lanun tersebut tidak datang lagi kemari, maka benar ia mempunyai niat buruk di sini, dan pastilah ia tidak akan selamat di dalam hutan ini.
Setelah menceritakan itu, ia langsung berpesan kepada keluarganya bahwa sumpah yang sudah ia lontarkan akan berlaku sampai habis garis keturunannya di Bumi. Katanya, hutan ini selamanya akan jauh dari malapetaka. Setiap kejahatan tidak akan selamat kemudian.
“Buah keras itu pinang. Paku itu bakek. Gambir itu darah. Tak akan ade kejahatan yang selamat di tempat kite ini. Tak ade satupun yang bise melukai pohon Leban itu seumur hidup Bumi”.
Keesokkan hari dan seterusnya, Lanun itu tidak pernah kembali lagi. Datuk pun bersyukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena telah menunjukkan jalan kebaikan demi kedamaian di dalam hutan tersebut. Gemuruh besar dari laut yang mendatangkan badai, sehingga pohon Leban bertuah itu seolah mengamuk menjadi pertanda bahwa ketidakbaikan sedang mengintip celah. Datuk pun berdoa, dan atas izin yang Maha Kuasa segalanya terjawab.
Beberapa tahun setelah peristiwa itu, Datuk pun akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan keluarganya tepat di samping Pohon Leban yang besar tersebut. Pemakaman di tempat yang sama juga dilakukan bagi beberapa keturunannya yang meninggal dunia setelah bertahun-tahun cerita antah-berantah itu ada.
Di sisi lain, sumpah tersebut pun masih berlaku hingga sekarang karena garis keturunan Datuk masih ada di daerah tersebut. Pohon Leban besar itu juga selalu memberi tanda-tanda gemuruh yang dahsyat ketika ada orang asing datang berniat jahat. Berdasarkan informasi yang didapat bahwa benar adanya setiap ada orang yang berniat berbuat jahat di desa tersebut tidak pernah berhasil dalam upaya melarikan diri atas perbuatannya. (Boby Julian)
Sumber:
Warga Desa Gemuruh
Asal cerita: Gemuruh, Kundur Barat, Karimun