Ramadan dan Perjalanan Raja Ali Kelana Berkeliling Pulau Tujuh

Ramadan dan Perjalanan Raja Ali Kelana Berkeliling Pulau Tujuh
Syahrul Rahmat, Dosen Sejarah STAIN Sultan Abdurrahman Kepri (Foto: Dok Pribadi )

19 Februari 1896, sebuah kapal perang Belanda menarik sauh dan meninggalkan pelabuhan Tanjungpinang. Kapal bernama Flamanco yang dinakhodai Fsier itu berlayar terus ke utara, menuju pemberhentian pertamanya, Pulau Jemaja.

Bersama GIF Schwat, seorang Controleur Afdeling Tanjungpinang, Raja Ali Kelana ikut serta dalam pelayaran untuk menunaikan perintah yang diberikan oleh Yang Dipertuan Muda Riau Raja Yusuf Al-Ahmadi.

Pulau Tujuh adalah negeri yang akan ditujunya dalam perjalanan pada bulan Ramadan tersebut. Gugusan Pulau Tujuh atau yang saat ini dikenal sebagai daerah Kepulauan Natuna dan Anambas adalah daerah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Riau Lingga.

Selama 17 hari perjalanan, dimulai 19 Februari sampai 6 Maret 1896 Masehi bertepatan dengan 6 – 23 Ramadan 1313 Hijriah, ia mengunjungi pulau demi pulau untuk mencatat segala hal yang ia temui. Segala pengalaman itu kemudian ia gabungkan menjadi sebuah karangan berjudul Pohon Perhimpunan yang dicetak oleh Mathba’at Riauwiyah pada tahun 1898.

Kekayaan Pulau Tujuh dan Segala Persoalannya

Malam di Pulau Jemaja, Raja Ali Kelana menikmati udara yang sejuk dengan pantai yang berpasir putih. Rimbun niur dan batang sagu tumbuh di atas tanah kuning bercampur pasir yang menjadi komoditas pertanian masyarakat. Dalam setahun, niur-niur kering dapat mencapai 2.500 pikul, sementara sagu dapat mencapai 7.000 tempayan. Dari Orang Kaya Haji Muhammad Tara, ia mendapat laporan bahwa Kampung Kuala Maras dihuni 1.570 jiwa.

Setelah beberapa hari berkeliling di Jemaja, pada 22 Februari 1896 Raja Ali Kelana melanjutkan perjalanan ke Siantan. Pukul enam pagi, saat matahari mulai menampakkan diri di ufuk timur, ia bertolak dari Kuala Maras dan sampai di labuhan Siantan Kampung Terempa, setelah empat jam mengarung lautan.

Dalam catatannya disebutkan bahwa masyarakat yang tinggal di Siantan dan beberapa pulau kecil di sekitarnya tidak hanya bertani niur dan sagu, tapi juga membuat kerajinan berupa tenunan dan anyaman tikar. Kekayaan laut adalah bagian yang tidak dilupakan oleh Raja Ali Kelana, komoditas laut juga menjadi sumber perkonomian masyarakat disana adalah kulit sepindang, siput kulai, gamat, siput rangak serta telur penyu.

Singkatnya, pada 24 dan 25 Februari, di Sedanau, Raja Ali Kelana bertemu dengan Raja Mahmud Amir Pulau Tujuh. Pada 26 Februari ia menghabiskan harinya di Pulau Bunguran.

Esoknya, ketika menepi di Tanjung Penagi, setelah berjalan sekitar 10 menit, didapati sebuah rumah yang di dalamnya terdapat orang berjudi. Empat orang pejudi berhasil ditangkap oleh Amir Pulau Tujuh, sementara 1 orang lainnya berhasil kabur. Kepada mereka diberikan hukuman.

Setelah berkeliling di kawasan Pulau Tujuh, pulau terakhir yang ia singgahi sebelum kembali ke Tanjungpinang adalah Pulau Tambelan. Setelah bertolak pada Rabu pagi dari Pulau Serasan, esok paginya 4 Maret 1896, kapal berhasil merapat di pelabuhan Tambelan.

Di sana, Raja Ali Kelana menerima aduan atas banyak persoalan, seperti pecahnya tongkang Haji Usman, laporan atas larinya dua orang Jawa yang berkerja pada Haji Muhammad Arif, serta menangkap dua orang tersangka pemukulan seorang Melayu bernama Ahmad untuk selanjutnya dibawa ke Pulau Penyengat.