Hai, bagaimana kabarnya? Semoga kamu tetap semangat menatap rumitnya dunia. Semoga kamu tetap tersenyum menghadapi segala sengketa tidak terduga. Misteri yang masih mengintip akan terus mencari celah di semesta ini; teka-teki kehidupan akan terus menguasai peradaban. Kita hanya menjalani dan mencoba melakukan yang terbaik. Semoga kita semua mampu menaklukan dunia dan tidak menyerah begitu saja.
Tidak terasa, iya, 2020 sudah semakin dekat menjadi sejarah. Pelan-pelan berganti tanpa disadari kita bisa melewati semuanya setangguh matahari. Banyak harapan yang sudah kita terbangkan jatuh di dasar permukaan. Hancur berderai seolah lenyap begitu saja tak tersisa. Hidup tampak semakin sulit ketika cuaca bertengkar dengan keadaan yang memaksa kenyataan harus diterima dengan lapang dada. Kendati begitu, waktu masih memberi kesempatan pada kita yang tidak mudah menyerah.
Kilas balik sedikit, Januari lalu, semua orang pasti mengawalinya dengan cita-cita yang luar biasa. Ada yang menyusun banyak rencana untuk perayaan yang megah. Ada banyak impian yang terbang di angkasa untuk sebuah pesta. Berharap langit selalu cerah dan menyalakan cahaya. Berharap semua musim adalah musim yang indah di seluruh penjuru dunia.
Namun siapa sangka, ternyata ada banyak hal yang terjadi harus diterima dengan lapang hati; di luar kendali diri. Impian dan harapan seakan tak menemukan peluang. Kesempatan yang kita inginkan seolah jadi punggung yang perlahan menjauh hilang. Kabar dari Wuhan yang sekelebat ramai menguasai seisi Alam, tanpa basa-basi merampas kehidupan. Covid-19 namanya diabadikan saat bertandang ke Bumi, lalu ia lupa jalan pulang yang akhirnya mengubah warna dunia jadi merah dan hitam penuh kegelisahan.
Bulan ketiga 2020, awal dunia memulai cerita baru dengan air mata timpa ruah. Perubahan terjadi berdampingan dengan ketakutan di dalam diri. Rencana besar yang kita miliki hilang dan harus siap berani mengganti mengikuti irama kondisi Bumi. Keterpaksaan menghibur diri berminggu-minggu terkurung dalam ruangan. Beradaptasi yang sulit dimengerti oleh akal dan hati. Sedih dan benci seakan-akan diajak bersatu untuk menerima dan memaafkan segalanya yang terjadi.
Kita semua merasa kehilangan. Ada yang kehilangan pekerjaan karena perusahaan begitu dekat dengan kebangkrutan. Ada banyak anak muda yang kehilangan kesempatan membahagiakan orang tuanya dalam sebuah perayaan wisuda. Ada juga yang gagal menikah dengan pesta yang meriah karena tidak dibenarkan membuat keramaian di puncak kebahagiaan. Sedihnya lagi, ada yang harus kehilangan keluarga, kerabat, dan kekasih karena dinyatakan positif Covid-19 yang kemudian tak tertolongkan tanpa bisa melihat jasadnya untuk yang terakhir kalinya dan masih banyak lagi kesedihan yang tak teruraikan.
Di 2020, banyak sekali jenis kesedihan menghampiri kita tanpa persiapan. Kebahagiaan yang sudah di depan mata harus terbuang. Misalnya saja, mereka yang sudah tinggal wisuda harus rela wisudanya di layar kaca. Pun mereka yang ingin menikah ada yang harus menunda atau melaksanakannya di luar dari apa yang diimpikan bersama sebagai pasangan. Selain itu, mereka yang menanti 30 tahun lamanya juara Liga, harus merayakannya tanpa euforia, Liverpool contohnya yang harus berpesta tanpa fans setia di jalanan kota.
Namun, apakah semua itu membuat hidup ini terhenti? Apakah malam hari gelap gulitanya hingga pagi? Apakah matahari gagal bersinar di sepanjang hari? Ternyata sepelik apapun yang terjadi di dunia ini, kehidupan tidak serta-merta kehilangan denyut jantungnya. Perlahan tanpa disadari dengan angan, sudah Desember saja, iya, kita berjalan, bahkan tinggal menghitung hari untuk melepasnya pergi.
Kini bersama impian dan harapan yang jatuh, kita menjadi manusia yang tangguh pada sebuah bentuk kehilangan yang sungguh. Desember ini mungkin belum banyak bintang yang kita petik. Masih banyak hal juga yang harus kita kejar di tengah malam yang memaksa kita bungkam. Lalu apa sebenarnya arti dari semua ini? Mungkinkah semesta sedang mengadili kita untuk merasakan hal yang sama sebagai manusia?
Boleh jadi, kita sedang diajarkan untuk mencari makna atas segala kejadian yang ada. Atau, diajarkan tertawa karena harus sebisa mungkin menutup luka dan kecewa yang bersenandung dalam jiwa. Sedangkan garis halus kerutan menjadi perhiasan di kening yang selama ini terabaikan. Kisah ini masih berlangsung. Perjalanan masih panjang menemukan ujung. Sedih yang kita alami juga belum seberapa. Sebab, di luar sana masih banyak manusia lapar berjuang tersenyum di saat kesulitan menjadi akar yang menjalar.
2020, ternyata tidak hanya menjadi sejarah yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Ia datang dengan angka yang romantis sambil mengajari pahit dan manis. Ia juga akan pergi tanpa memaksa kita untuk mencari validasi semesta yang pragmatis. Seperti langit yang tak pernah bercerita tentang betapa tinggi dirinya. Seperti anak kecil menulis tanpa meminta pengakuan benar atau salah hasil tulisannya, tetapi ia selalu berjuang menulis sampai tulisannya bagus dan indah untuk dibaca banyak mata.
2020 hanya ingin kita memaknainya. Menemukan segala sesuatu yang belum pernah ada. Menyadari konsekuensi dari apa yang tak pernah kita duga. Meminta kita memahami bahwa berubah dalam seketika itu adalah sesuatu yang tak bisa dicegah. Sebab, 2020 ingin melihat kita benar-benar menjadi manusia yang mencintai manusia juga seisi semesta.
Semua ada masanya, semua ada kisahnya. Tuhan tak pernah membiarkan terlalu lama kita memeluk jatuh juga tak pernah membiarkan terlalu tinggi kita terbang melintasi batas kewajaran. Sebab, semua sangatlah berharga dan bermakna. Sebab, semua tetap berputar seperti roda yang seharusnya. Mari, kita maknai tahun ini dengan cinta dan kasih agar sejarahnya menjadi pembelajaran yang sangat berarti. Semanis teh sepahit kopi tak terasa 2020 ingin pergi.