Sirekap Bermasalah, Ini Kata Pakar Informatika UMRAH

Sirekap
Aplikasi Sirekap KPU.(Foto: Randi Rizky K)

TANJUNGPINANG – Aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) milik Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) belakangan ini menjadi sorotan publik.

Pasalnya, beberapa hasil pemilu yang ditampilkan di laman Pemilu2024.kpu.go.id berbeda dengan C-Hasil.

Bahkan, Komisioner KPU RI, Betty Epsilon Idroos belum lama ini mengungkapkan adanya kesalahan data di 1.223 TPS dari lebih dari 800 ribu TPS.

Diketahui juga sampai saat ini, KPU masih belum melakukan pembaruan pada Sirekap karena masih dalam proses sinkronisasi. Dengan situasi ini, Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja  baru-baru ini mengingatkan KPU RI untuk segera memperbarui data Sirekap tanpa menunggu terlalu lama.

Lantas apa penyebab kesalahan data dalam aplikasi Sirekap? Bgaimana sebenarnya cara kerja Sirekap dalam sudut pandang pakar?

Ketua Jurusan Teknik Informatika (TI) Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Muhamad Radzi Rathomi, mengungkapkan aplikasi Sirekap merupakan sebuah sistem kecerdasan buatan hasil olah tangan manusia. Menurutnya, segala kesalahan sistem dan ‘human error’ dalam penggunaannya adalah hal yang lumrah terjadi.

Lanjut dia, walaupun dengan kecanggihan teknologi langkah KPU untuk tetap melakukan penghitungan manual di luar Sirekap adalah hal yang tepat, karena sistem dalam aplikasi tidak selamanya benar.

Razi sapaan akrabnya menerangkan, sebenarnya banyak teori yang bisa digunakan dalam menyusun sistem Sirekap.

“Tentunya aplikasi ini disusun sesuai dengan proses bisnis yang sedang berjalan, tujuannya pasti untuk mempermudah pekerjaan rekapitulasi, menghemat biaya dan waktu,” ujarnya, Ahad 25 Februari 2024.

Razi menjelaskan, yang dimaksud proses bisnis adalah tahapan pekerjaan dalam proses pengumpulan suara mulai dari pemungutan di TPS hingga perhitungan suara dan input foto C-Hasil ke aplikasi Sirekap di kecamatan.

“Secara garis besar alurnya kan seperti itu, nah proses bisnis seperti itu yang diterapkan di aplikasi Sirekap yang mengumpulkan data dari TPS hingga tingkat diatasnya,” ujarnya.

Secara teknis, menurut penilaian Razi, aplikasi Sirekap menggunakan teknologi Optical Character Recognition (OCR), yaitu sistem atau program yang dibuat untuk mengenali tulisan tangan manusia.

“OCR ini termasuk produk Artificial Inteligent (AI). Tapi perlu diketahui AI adalah produk buatan manusia yang tidak luput dari kesalahan,” ungkapnya.

Razi menjelaskan sistem OCR memanfaatkan library (server penyimpanan). Ada dua jenis library yaitu, pertama yang bersifat open source (gratis) seperti Google Library. Kedua bersifat profesional yang biasanya disediakan oleh lembaga-lembaga atau perusahaan tertentu.

“Atau kita bisa sebut lembaga penyedia sistem cerdas. Kalau untuk KPU saya tidak tahu di mana servernya, itu tergantung KPU di mana dibangun infrastrukturnya, yang jelas pasti KPU menggunakan yang profesional berbayar,” ujarnya.

Ia pun menegaskan sistem OCR yang menggunakan Library berbayar biasanya terdapat perjanjian keamanan data. Sehingga jika sekiranya terjadi kebobolan sistem atau rusak, pihak penyedia biasanya bertanggung jawab. “Tapi saya yakin KPU sudah memiliki tenaga ahli terkait hal ini,” ujarnya.

Ia pun memerinci cara kerja sistem OCR dengan mencontohkan cara kerja aplikasi Sirekap. Razi menjelaskan ketika formulir C-Hasil di upload maka OCR akan bekerja secara otomatis.

Sehingga pada saat file foto C-Hasil di upload maka sistem akan langsung mengirimkan ke server untuk dilakukan proses pembacaan.

“Hasil pembacaan tersebut lalu langsung terinput ke database. Proses seperti ini dengan syarat aplikasinya di tanam di server milik KPU” pungkasnya.

Selanjutnya, Razi menjelaskan bagaimana cara OCR membaca tulisan tangan manusia. Menurutnya file foto yang diupload di Sirekap, sebenarnya adalah kumpulan dari dari pixel yang bentuk dasarnya adalah biner. “Biner itu adalah angka 0 dan 1,” ujarnya.

Baca juga: Kesalahan Data Sirekap Apakah Bisa Disebut Hoaks? Ini Kata Pengamat

Sedangkan bentuk dasar program komputer termasuk OCR, juga berbentuk bilangan biner 0 dan 1. Sehingga dapat dikatakan sistem OCR bekerja secara biner atau menggunakan bahasa biner. “Nah kode biner inilah yang dibaca oleh sistem OCR,” ungkapnya.

Dalam teknologi pembacaan karakter itu, terdapat algoritma tertentu yang sengaja disusun untuk membaca angka-angka biner dari file foto yang di upload.  Sehingga saat sistem OCR membaca, terjadi proses statistik di dalam sistem untuk mengenali gambar tersebut dekat dengan karakter apa.

“Kalau di Sirekap, misalnya apakah dekat dengan angka 2, angka 1, atau karakter angka lainnya, itulah yang di input nantinya ke database,” ujarnya.

Namun, Razi tidak menampik kelemahan sistem OCR. Ia menerangkan pekerjaan secara biner kental sekali dengan proses aritmatika, sedangkan aritmatika sendiri masih banyak kekurangan.

“Contohnya ‘rounding error’, misalnya angka 10 dibagi 3. Pasti ada nantinya proses pembagian 3 yang tidak selesai. Yang jelas hasilnya pasti 3 koma sekian, sehingga akan terus terjadi pengulangan,” jelasnya

“Begitu juga yang terjadi dalam pekerjaan sistem secara biner. Saat terjadi ‘rounding error’ ketika mengubah nilai desimal menjadi biner, maka juga akan terjadi pengulangan, sehingga pengguna akhirnya harus membulatkan,” sambungnya

Proses pembulatan inilah posisi pengguna sangat berperan untuk memverifikasi kesalahan sistem dalam pembacaan.

Selain itu kekurangan lainnya, terdapat pada proses pembacaan karakter. Menurut Razi sistem OCR tidak bisa membaca semua pola tulisan semua orang. Apalagi pola tulisan masing-masing orang berbeda.

“Kita tidak bisa memaksakan pola tulisan orang satu indonesia itu sama. Misalnya angka satu saja ada yang menulisnya mirip angka tujuh, nah kadang sistem OCR membacanya sebagai angka 7 padahal 1” tuturnya.

Apalagi menurut Razi, dalam konteks pemilu, penghitungan suara bisa menghabiskan waktu berhari-hari sehingga bisa menimbulkan ‘human error’ dan penulisan angka yang mulai tidak beraturan oleh petugas yang kelelahan.

“Jadi hal yang normal ketika sistem cerdas tetap harus disandingkan dengan proses verivikasi manual (fisik), karena kesalahan sistem tidak bisa dielakkan,” ungkapnya. (*)

Ikuti Berita Ulasan.co di Google News