IndexU-TV

Sosiolog Soroti Kasus Penganiayaan Anak Dirantai di Batam

Kasus Penganiayaan Anak Dirantai di Batam
Ibu korban sekaligus pelaku kasus penganiayaan anak dirantai di Batam, Kepulauan Riau. (Foto: Dok Polisi)

BATAM – Sosiolog dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, Sri Wahyuni, turut menyoroti kasus penganiayaan anak perempuan berusia 13 tahun oleh ibunya di Kota Batam, Kepulauan Riau.

Menurut Sri Wahyuni, tidak sepantasnya orang tua memperlakukan anak dengan kekerasan, apalagi hingga berujung pada penganiayaan. Ia menjelaskan, tindakan kekerasan terhadap anak sering kali berakar dari pola asuh yang keliru.

“Motif penganiayaan terhadap anak sering kali dianggap sebagai upaya mendidik. Padahal ini adalah pola asuh yang salah,” ujarnya.

Sri Wahyuni menyoroti pentingnya pendekatan persuasif dalam mendidik anak. Ia mengutip pemikiran John Dewey, seorang ahli sosiologi pendidikan menyebut anak diibaratkan seperti kertas putih yang merekam nilai-nilai dari lingkungan sosial, terutama orang tuanya.

“Jika anak membuat kesalahan itu menunjukkan ada pola asuh yang keliru dari orang tua. Anak tidak bisa sepenuhnya disalahkan,” jelasnya.

Sebab pengajaran orang tua kepada anak akan membentuk kebiasaan, sehingga saat tumbuh besar akan sulit mengubahnya. Saat anak membantah perkataan orang tua yang kadang tidak sesuai dengan kebiasaan anak, dan orang tua menuntut si anak mengubahnya disitulah sering terjadi penganiayaan.

“Berdasarkan pemberitaan anak itu dirantai dianiaya karena menyembunyikan HP (handphone) dan tidak mau menghafal Al-Qur’an. Apapun alasannya orang tua tetap tidak boleh melakukan penganiayaan,” tegasnya.

Ia menganalisa bisa jadi tindakan si anak menyembunyikan HP menandakan anak sedang menunjukan wujud emosi terpendam kepada orang tuanya karena sesuatu hal. “Namun tetap tidak diwajarkan penganiayaan itu,” tekannya.

Ia menjelaskan tindakan kekerasan terhadap anak dapat memengaruhi psikis dan dunia sosial anak. Sebab anak bersifat imitasi atau meniru. Jika orang tua sering bertindak kasar, anak cenderung meniru akan perilaku tersebut.

“Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan biasanya akan melakukan hal serupa kepada orang lain,” katanya.

Menurutnya, orang tua harus mendidik anak melalui pendekatan personal dan penuh kasih sayang. Anak perlu diajak berdiskusi dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab.

“Banyak anak sekarang lebih memilih curhat di media sosial. Ini menandakan kurangnya ruang aman di keluarga,” jelasnya.

Orang tua perlu memberikan zona nyaman, dengan begitu anak akan bisa membangun kepercayaan dirinya. Sebab jika tidak begitu anak akan mencari perhatian diluar lingkungan keluarganya, yang berpotensi terjerumus kedalam lingkungan yang menyimpang.

“Syukur kalau dia masuk ke lingkungan sosial yang positif, tapi kalau mendapatkan lingkungan yang tidak bagus, anak bisa terjerumus pergaulan bebas, narkoba dan lainnya,” tambahnya.

Ia juga mengkritik pandangan tradisional yang menganggap anak sebagai ‘milik’ orang tua sehingga dapat diperlakukan sesuka hati. Menurutnya hal itu sudah tak relevan.

“Kenapa ada UU (Undang-Undang) Perlindungan Anak? karena selama ini konsep yang digunakan adalah anak harus sesuai kemauan orang tua, itu yang terjadi,” ungkapnya.

“Kita harus sadar, kini hukum telah mengatur anak itu milik negara. Dalam agama pun anak merupakan titipan,” ujarnya.

Baca juga: Pasutri Korban Penganiayaan di Kampung Baru Tanjungpinang Malah Ditetapkan Jadi Tersangka

Ia menambahkan, dalam terpaan globalisasi dan digitalisasi, orang tua saat ini harus melek dengan teknologi yang kini turut mengiringi tumbuh kembang anak.

“Sesuaikan pendidikan anak dengan tumbuh kembangnya sehingga kekerasan bisa dihindari. Pendidikan itu bahkan harus dimulai sejak dari dalam kandungan dengan kasih sayang, tak ada yang tiba-tiba instan,” ujarnya.

Sebelumnya menurut laporan polisi, kasus penganiayaan terhadap AF (13 tahun) oleh ibunya berinisial JBD (37 tahun) ini terungkap setelah pemilik kontrakan yang ditinggali ibu dan anak tersebut, Mukhlis Efendi, melaporkan penganiayaan itu.

Kejadian memilukan ini dilaporkan pada Senin 11 November 2024, di rumah merekakawasan Bengkong Harapan 2, Kecamatan Bengkong, Kota Batam.

Menurut pengakuan korban, insiden kekerasan terjadi sekitar pukul 08.30 WIB. AF menjelaskan bahwa ibunya marah karena menyembunyikan ponsel milik sang ibu dan tidak jujur saat ditanya. Akibatnya, ia dihantam dengan sapu dan lehernya dililit rantai besi sebanyak dua kali.

Akibat kejadian tersebut, AF mengalami luka-luka, termasuk bocor di bagian kepala sebelah kiri, luka di pelipis kanan, lebam di mata kiri, lecet di leher, serta rasa sakit pada jari tangan.

Sementara itu pelaku juga telah diamankan oleh Unit Reskrim Polsek Bengkong yang dipimpin Kanit Reskrim IPTU Marihot Pakpahan.

Polisi berhasil menangkap JBD dan menyita beberapa barang bukti, termasuk rantai besi sepanjang tiga meter, tali rafia berwarna merah, ponsel Vivo Y20, serta sebuah gembok.

Kini JBD harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Ia dijerat Pasal 80 Ayat (1) UU RI No. 35 Tahun 2024 tentang Perlindungan Anak serta Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang penganiayaan, dengan ancaman hukuman lebih dari tiga tahun penjara.

Kasus ini tengah dalam proses pemberkasan oleh kepolisian untuk segera dilimpahkan ke Kejaksaan agar dapat diproses lebih lanjut di pengadilan. (*)

Ikuti Berita Ulasan.co di Google News

Exit mobile version