Tolak Kebijakan Ekspor Pasir Laut, Akar Bhumi Indonesia: Merusak Tatanan Ekonomi Masyarakat Pesisir

Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan. (Foto:Irvan Fanani/Ulasan.co)

Hendrik jug menilai, kebijakan pemanfaatan sedimentasi laut yang didalamnya terdapat lumpur dan pasir laut, hanya akan menguntungkan negara dalam jangka pendek.

Di sisi lain, lanjut dia, hal tersebut akan mendatangkan kerugian besar terhadap potensi laut Indonesia di masa mendatang.

“Jadi ini adalah kebijakan yang tidak perlu direvisi, tetapi harus dibatalkan. Jika memang mau melakukan pembersihan sedimentasi di laut silahkan lakukan, tetapi tidak secara bisnis,” kata Hendrik.

Hendrik juga mengingatkan, bagimana eksploitasi pasir laut di perairan Kepri khususnya di Kabupaten Bintan yang memiliki sejarah pahit, saat hasil ekspor pasir laut di wilayah itu diekspor ke Singapura, untuk memenuhi kebutuhan reklamasi di Negeri Singa tersebut.

“Sejarah sudah membuktikan, ekosistem laut kita hancur karena aktivitas penambangan pasir laut yang brutal saat itu. Bahkan zona tangkapan nelayan menjadi hilang, dan merusak tatanan ekonomi masyarakat pesisir,” jelas Hendrik.

Nelayan di Natuna, Kepri saat memindahkan ikan dari perahunya di dermaga. (Foto:Dok/Ulasan Network)
Baca juga: Ini Alasan Pemerintah Buka Keran Ekspor Pasir Laut

“Sedimentasi laut tidak hanya terdiri dari pasir, tapi juga lumpur. Siapa coba yang mau membeli lumpur. Apakah kebijakan seperti ini sudah tepat untuk menaikkan PNBP. Padahal ada opsi lain yang dapat dilakukan pemerintah tanpa harus merusak lingkungan. Menekan angka korupsi, itu kan juga bisa menjaga keuangan negara,” sambungnya.

Lebih lanjut, Hendrik menyamapaikan bahwa PP 26 bertentangan dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil, dan UU Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan, yang menekankan pentingnya perlindungan lingkungan laut sebagai prioritas utama.

“96 persen wilayah Kepri adalah lautan, dan sebagian besar desa serta kelurahan berada di pesisir. Jika kebijakan ini diterapkan, masyarakat pesisir akan semakin terhimpit antara kerusakan wilayah pesisir akibat reklamasi dan kerusakan laut akibat penambangan pasir laut,” ungkapnya.

“Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, justru malah melakukan dehumanisasi atau penurunan nilai kemanusiaan terhadap masyarakat pesisir,” tutupnya.