Pemodelan tsunami Jakarta
Tsunami di Selat Sunda dapat dipicu oleh erupsi gunung api dan gempa tektonik yang bersumber di zona megathrust.
Berdasarkan catatan sejarah, tsunami akibat erupsi Gunung Krakatau pada 1883 mampu menjangkau Pantai Jakarta karena tinggi tsunami di sumbernya lebih dari 30 meter, sedangkan tsunami pada 2018 lebih kecil sehingga tidak sampai Jakarta.
Pemodelan tsunami Selat Sunda akibat gempa magnitudo 8,7 yang dilakukan BMKG menujukkan bahwa tsunami dapat sampai Pantai Jakarta.
Hasil pemodelan menunjukkan bahwa tsunami sampai di Pantai Jakarta dalam waktu sekitar tiga jam setelah gempa, dengan tinggi 0,5 meter di Kapuk Muara – Kamal Muara dan 0,6 meter di Ancol – Tanjung Priok.
Pemodelan tsunami diukur dari muka air laut rata-rata (mean sea level). Dalam kasus terburuk, jika tsunami terjadi saat pasang, maka tinggi tsunami dapat bertambah.
Selain itu, ketinggian tsunami juga dapat bertambah jika pesisir Jakarta sudah mengalami penurunan permukaan (subsiden).
Pemodelan tsunami memiliki ketidakpastian (uncertainty) yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena persamaan pemodelan sangat sensitif dengan data dan sumber pembangkit gempa yang digunakan, ujar Daryono.
Beda data yang digunakan maka akan beda hasilnya, bahkan jika sumber tsunaminya digeser sedikit saja, maka hasilnya juga akan berbeda. Inilah sebabnya maka selalu ada perbedaan hasil di antara pembuat model tsunami.
“Kajian skenario terburuk itu penting untuk rujukan mitigasi, jadi kita ambil pahitnya agar kita lebih siap, meski kapan terjadinya tidak ada yang tahu, bisa jadi skenario terburuk tersebut belum tentu terjadi,” katanya.
Pemerintah terus mendorong pengembangan skema baru pendanaan untuk mendukung upaya mitigasi bencana atas dampak perubahan iklim serta fenomena fenomena lainnya karena adanya perubahan iklim yang cukup drastis. Kenaikan permukaan air laut, gempa bumi, dan tsunami yang terjadi pada pulau-pulau di Indonesia yang memang sangat rentan karena kondisi geografisnya.
Sumber pendanaan dengan skema baru itu dapat digunakan untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menyesuaikan agenda pembangunan guna menghasilkan lompatan layanan informasi yang cepat, tepat, akurat dan luas jangkauannya.
Pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk mengantisipasi hal tersebut, kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Selama lima tahun terakhir, rata-rata pengeluaran untuk aksi perubahan iklim mencapai Rp86,7 triliun per tahun. Sekitar 76,5 persen dari anggaran tersebut dimanfaatkan untuk aksi mitigasi dan lintas sektor, dan 23,5 persennya digunakan untuk mendanai aksi adaptasi.
Pengeluaran pemerintah untuk perubahan iklim hanya mencakup 34 persen dari total kebutuhan pembiayaan iklim per tahun. Indonesia secara konsisten mengalokasikan sekitar 4,1 persen untuk aksi perubahan iklim.
Pentingnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga harus dibarengi dengan mitigasi bencana yang mumpuni. Yang tidak boleh dilupakan adalah membangun kesiapsiagaan masyarakat untuk senantiasa waspada terhadap terhadap “alarm” yang diberikan oleh alam.
Pewarta: Antara
Editor: Albet