Banyak Nelayan Tak Tau Manfaat Layanan Registrasi Kapal Ikan

nelayan
Sejumlah nelayan mencari ikan. ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/kye/pri.

Jakarta – Hingga kini masih banyak nelayan tradisional yang tidak mengetahui apa manfaat dari layanan registrasi pendaftaran kapal ikan.

Minimnya informasi yang diterima nelayan terkait layanan registrasi kapal ikan, menjadi sorotan pihak Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).

Untuk itu, KNTI menginginkan layanan registrasi atau pendaftaran kapal ikan dapat disosialisasikan lebih gencar lagi.

Sehingga nelayan kecil di berbagai daerah di Indonesia dapat memahami manfaatnya.

“Kurangnya kesadaran nelayan untuk mengurusnya (registrasi kapal). Hal tersebut dikarenakan tidak jelasnya keuntungan nelayan, jika memenuhi atau mengurus registrasi kapalnya,” kata Ketua Harian KNTI Dani Setiawan di Jakarta, Senin (10/01).

Menurut Dani, pihaknya telah melakukan survei terkait beberapa faktor penyebab lambatnya registrasi kapal nelayan.
Ia mengungkapkan, hasilnya adalah nelayan umumnya menilai masih belum optimalnya fungsi pemerintahan dalam pelabuhan perikanan.

“Harapannya fungsi pemerintahan bukan hanya dioptimalkan di Pelabuhan Perikanan tipe PPS (Pelabuhan Perikanan Samudera), PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara), PPP, (Pelabuhan Perikanan Pantai) juga skala PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan), sehingga mendekatkan pelayanan dalam pengurusan registrasi kapal,” ucap Dani.

Baca juga: Pemerintah Belum Pernah Melaksanakan Sensus Kapal Nelayan

Kedua, masih menurut dia, adalah karena terpisahnya fungsi-fungsi pelayanan di instansi yang berbeda sehingga sebaiknya pelayanannya bisa terintegrasi.

Saat ini, lanjutnya, nelayan kesulitan mengurus karena yang satu menjadi kewenangan Dinas Provinsi dan satu lagi Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP).

Selain jarak tempuh juga menjadi kendala, apalagi di daerah-daerah kepulauan.

“Contoh misalnya, nelayan Demak harus ke Jepara untuk mengurus pas kecil. Atau dalam bahasa sederhana, pelayanan registrasi kapal nelayan harus memudahkan dan mendekatkan infrastruktur pelayanan ke nelayan langsung,” jelas dia.

Senada, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim menyatakan, bahwa penyelenggara negara harus lebih aktif, misalnya dengan menggencarkan sosialisais dan langsung membuka pos layanan di lapangan.

“Nelayan kecil sudah terlampau berat beban hidupnya, sehingga pelayan publik mesti jemput bola. Bukan duduk di belakang meja,” kata Abdul Halim.

Sebelumnya, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan menyatakan, bahwa masih banyak kapal berukuran kecil milik nelayan yang belum terdaftar oleh pemerintah.

Sehingga juga menjadi tantangan, dalam menerapkan kebijakan penangkapan terukur.

“Sejauh ini pemerintah belum pernah melakukan kegiatan sensus kapal ikan, sehingga jumlah kapal yang teregistrasi diperkirakan jauh dari angka yang sebenarnya,” kata Abdi.

Mengantisipasi penangkapan ikan berlebih atau overfishing, pihaknya mendukung pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), untuk melakukan registrasi kapal ikan melalui kegiatan pengukuran dan penerbitan pas kecil.

Ia mengingatkan, bahwa bila sensus penduduk dengan 270 juta jiwa berhasil dilakukan, maka hal serupa dapat dilakukan untuk memastikan jumlah kapal ikan dari berbagai ukuran, yang diperkirakan jumlahnya kurang dari 700 ribu di Tanah Air.

“Mestinya (sensus kapal nelayan atau pelaku usaha perikanan) menjadi prioritas pemerintah saat ini,” kata Abdi.

Menurut dia, registrasi kapal ikan merupakan titik masuk untuk penelusuran hasil tangkapan tuna, jika Indonesia ingin mengikuti sertifikasi produk oleh sejumlah lembaga internasional.