BATAM – Kepulauan Riau (Kepri) sebagai provinsi yang berada di wilayah paling utara di kawasan Indonesia barat memiliki luas 8.201,72 kilometer persegi didominasi 96 persen lautan.
Meski dikelilingi oleh sumber daya laut melimpah, tak lantas membuat nelayan di Kepri hidup sejahtera.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepri, Distrawandi menyayangkan fenomena ini. “Dibandingkan dengan nelayan di Pulau Jawa, mereka kita lihat lebih sejahtera daripada nelayan kita di sini, seperti sudah memiliki kapal besar dan lainnya,” ujarnya, Kamis 13 Juni 2024.
Menurutnya, nelayan tradisional di Kepri yang tergolong ke dalam kelompok masyarakat miskin dapat dilihat dari tidak adanya kepercayaan perbankan kepada nelayan.
“Saya melihat tidak ada upaya signifikan yang dilakukan oleh pemerintah pusat hingga daerah untuk menaikkan kualitas nelayan maupun badan usahanya,” sesalnya.
Distrawandi mencotohkan, program unggulan Pemprov Kepri yakni pinjaman modal dengan bunga nol persen dengan bekerja sama dengan Bank Riau Kepri Syariah (BRKS). Di mana pelaku UMKM tidak dibebankan lagi untuk membayar bunga pinjaman, karena sudah disubsidi oleh pemprov.
“Tapi nyatanya bank punya aturan tersendiri, nelayan tidak bisa menjadikan kapal mereka sebagai agunan atau jaminan agar proses pinjaman dana dapat dikabulkan pihak bank,” ungkapnya.
Distrawandi mengakui, HNSI sebagai lembaga non pemerintah hanya bisa membantu para nelayan dengan turut serta terlibat dalam kegiatan pendampingan seperti program perlindungan nelayan dengan BPJS Ketenagakerjaan.
Kemudian mendampingi nelayan terkait pengurusan Sertifikat Kelaikan Kapal Perikanan (SKKP) dan pengurusan elektronik buku kapal perikanan (e-BKP).
“Jadi untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan ini merupakan pekerjaan rumah yang berat untuk seluruh pihak terkait,” ucapnya.
Distrawandi juga menyoroti permasalahan impor ikan dari negara tetangga yang menembus pasar di wilayah Kepri. Menurutnya, hak tersebut bukan permasalahan yang lazim terjadi mengingat Kepri merupakan wilayah penghasil ikan.
Ia mencontohkan kasus 4 ton ikan beku yang diamankan oleh PSDK Batam pada Jumat 31 Mei 2024 lalu. Ikan beku jenis selar dan tongkol yang diamankan di gudang penyimpanan mikik PT Sumber Laut Alam itu diduga tidak dilengkapi dengan persyaratan (dokumen) impor.
“Kita sangat menyayangkan dari pihak pelaku usaha atau penampung ikan yang menyalahgunakan wewenang dan izinnya untuk mengimpor ikan dari negara tetangga,” kata Distrawandi.
Baca juga: Makin Meresahkan, Jaring Nelayan Tembeling Kerap Jadi Sasaran Buaya
Menurutnya, kebutuhan konsumsi ikan untuk pasar di Batam mampu tercukupi dari ikan hasil tangkapan para nelayan.
“Beberapa daerah seperti Lingga dan Bintan juga mengeluhkan terkait harga jenis ikan pelagis (kelompok ikan yang hidup di permukaan air) yang mencapai harga terendah Rp8.000 per kilogram,” bebernya.
“Terkait dengan pengolahan dan pemasaran ikan diatur oleh pemerintah pusat dan daerah, hal ini berdasarkan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,” sambungnya. (*)
Ikuti Berita Ulasan.co di Google News