IndexU-TV

Daging Babi Mahal, Warga Thailand Pilih Makan Daging Buaya

Daging Babi Mahal, Warga Thailand Pilih Makan Daging Buaya
Foto: Seorang penjual daging babi (tengah) melayani pelanggannya di tokonya di Bangkok, Thailand Sabtu (19/2/2011). (AP Photo/Apicart Weerawong)

Jakarta – Warga Thailand berbondong-bondong beralih mengkonsumsi daging buaya lantaran mahalnya daging babi yang menjadi pangan utama di negara itu.

Sekitar 20.000 buaya pun disembelih setiap bulan untuk diambil dagingnya. Namun, angka ini meningkat dua kali lipat dalam beberapa bulan terakhir.

Peternakan babi Thailand dikabarkan sedang menghadapi krisis setelah adanya kasus flu babi Afrika di negara itu. Akibatnya, pasokan babi pun menurun dan memicu lonjakan harga di pasaran.

Sebagai alternatif, warga beralih membeli daging buaya yang disebut teksturnya mirip daging ayam. Warga juga menilai buaya memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan babi serta harganya jauh lebih murah.

“Banyak penjual makanan dan restoran datang kepada saya untuk meminta daging buaya untuk dibeli,” kata salah seorang peternak buaya, Wichai Roongtaweechai dikutip dari Nikkei Asia.

Baca juga: Warga Thailand Diperbolehkan Menanam Ganja

Seekor buaya rata-rata menghasilkan sekitar 12 kilogram daging. Bagian atas ekor buaya dianggap paling enak dan paling laris.

“Petani yang sudah mencobanya mengatakan daging buaya rasanya seperti daging ayam,” tulis salah satu media.

Jika dibandingkan dengan daging babi, harga daging buaya memang lebih murah. Daging buaya dijual dengan harga sekitar US$ 3 (Rp43 ribu) per kilogram dan harga grosir terendah US$ 2 (Rp28 ribu) per kilogram, sementara babi US$ 7,5 per kilogram.

Baca juga: Thailand dan Sri Lanka Larang Pelancong Sejumlah Negara Afrika

Hal ini membuat penjualan daging buaya melonjak 100 kilogram per hari, dari 20 kilogram per hari. Semakin dekatnya Tahun Baru Imlek juga membuat peningkatan penjualan.

Sebelumnya, mengutip Thaipbsworld, penurunan produksi babi dimulai dari pandemi COVID-19. Produksi babi tahun lalu turun menjadi 19 juta ekor, dari 20 juta ekor tahun sebelumnya.

Konsumsi domestik juga mengalami penurunan sejak COVID-19 mewabah. Apalagi, dengan adanya pembatasan, penguncian, serta penurunan tajam jumlah wisatawan asing.

Belum lagi banjir yang menyerang banyak provinsi tahun lalu. Biaya pencegahan pandemi juga mahal. Namun yang paling mencekik adalah harga pakan ternak yang naik. Padahal hal itu menyumbang 60-70 persen biaya produksi babi. Kenaikan harga pakan terjadi akibat mahalnya kedelai dan jagung. Di mana harga sempat mencapai 12,50 bath per kilogram than lalu. Ini memaksa banyak peternak gulung tikar.

Baca juga: KBRI di Bangkok Ajak Investor Thailand Investasi di Sektor Logistik Indonesia

Selain itu, ada fakta lain yakni demam babi Afrika (ASF). Seorang anggota parlemen Wisuth Chainaroon mengatakan penyakit yang mematikan babi itu makin parah dalam tiga tahun terakhir.

Sementara itu, untuk menggenjot produksi babi, Bank untuk Koperasi Pertanian dan Pertanian (BAAC) yang dikelola negara, mulai memberikan pinjaman lunak senilai 30 miliar baht. Ini untuk mendukung para petani dalam upaya untuk meningkatkan produksi pakan babi dan ternak.

Presiden BAAC, memperkirakan bahwa 90 persen dari total 190.000 peternak babi Thailand adalah petani kecil yang menyumbang sekitar 30 persen dari total produksi. BAAC menghitung 59.205 dari mereka sebagai pelanggannya.

Produsen menengah dan besar membentuk 3 persen dari total produsen tetapi mereka mencapai hingga 70 persen dari total babi, diperkirakan rata-rata 22 juta per tahun. Di mana 90 persen-nya adalah untuk konsumsi domestik.

Exit mobile version