Jakarta – Ketua V Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Shodiq Wicaksono menyampaikan perlunya transisi teknologi terkait peralihan paradigma kendaraan bermotor berbahan bakar minyak menuju kendaraan listrik, di mana Gaikindo meminta agar sebaiknya hal tersebut tidak mengganggu industri pendukung otomotif lainnya.
“Perlu ada transisi teknologi untuk meminimalisir dampak perubahan struktur industri supplier sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Pengalihan teknologi diharapkan berjalan secara alami, bisa cepat atau lambat tetapi sebaiknya mengakomodasi semua pihak,” kata Shodiq saat menjadi pembicara webinar ‘Quo Vadis Industri Otomotif Indonesia di Era Elektrifikasi’ secar virtual, Jumat (15/10).
Shodiq mencatat setidaknya ada 1,5 juta karyawan yang bekerja di industri pendukung otomotif tier 1 sampai tier 3 yang perlu diperhatikan karena akan terdampak kebijakan mobil listrik tersebut.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM), Hamdhani Dzulkarnaen Salim memperkirakan sekitar 47 persen perusahaan komponen yang menjadi anggota asosiasinya akan terdampak kebijakan kendaraan listrik.
“Terutama perusahaan yang yang memproduksi mesin dan ribuan komponen di dalamnya, kemudian produsen transmisi juga akan terpengaruh, yang memproduksi tangki dan filter BBM serta oli, sampai exhaust valve pasti akan terpengaruh,” tegas Hamdhani.
Pengembangan kendaraan listrik di Indonesia menurut Hamdhani mau tidak mau membuat anggota GIAMM yang nanti hasil produksinya tidak lagi digunakan untuk membuat komponen baru dengan nilai investasi yang tidak sedikit.
“Untuk bisa melakukan itu, kami perlu partner yang mumpuni di bidang teknologi kendaraan listrik. Sementara kalau diperhatikan, pabrikan otomotif contohnya Toyota, Hyundai, Tesla, dan Nissan itu mereka justru memiliki pabrik baterai sendiri. Buat kami, ini menjadi tantangan,” jelasnya.
Terkait hal tersebut, Dosen Desain Produk FSRD-ITB Yannes Martinus Pasaribu menilai, pemerintah memegang peranan penting dalam mensukseskan program kendaraan listrik untuk menekan emisi karbon itu.
Menurut Yannes, Indonesia memiliki potensi besar menjadi negara kaya karena menguasai sekitar 23 persen cadangan nikel dunia ditambah memiliki sumber daya elemen penyusun baterai litium.
Apabila seluruhnya dipergunakan sebagai modal mendirikan industri baterai nasional, maka bukan tidak mungkin pada 2030 mendatang Indonesia bisa menjadi negara produsen baterai kendaraan listrik terbaik di ASEAN.
“Untuk menuju ke sana perlu leadership yang kuat. Sementara dalam proses menuju ke sana, Indonesia kan ada potensi penerimaan dari carbon tax minimal Rp3,03 triliun per tahun. Bagaimana kalau insentifnya diberikan ke stakeholder baik itu masyarakat atau industri agar harga mobil dan motor listrik menjadi menarik,” usul Yannes.
Dalam kata sambutannya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menggarisbawahi meningkatnya kebutuhan baterai kendaraan listrik akan mendukung peran strategis Indonesia dalam rantai pasok global industri kendaraan listrik.
Hal itu mengingat posisi Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, serta masih tingginya cadangan bahan baku primer lainnya seperti cobalt, mangan, dan aluminium.
Ia mencatat saat ini ada 9 perusahaan yang telah siap mendukung industri baterai; 5 perusahaan penyedia bahan baku baterai, dan 4 perusahaan produsen baterai.
Industri baterai Indonesia disebut harus mengantisipasi perkembangan teknologi ke depan yang berdampak pada harga lebih murah, energi yang dihasilkan lebih tinggi, dan waktu pengisian yang singkat.
“Adanya teknologi disruptive battery seperti ini, mengindikasikan ketersediaan nikel, mangan dan kobalt melimpah tidak menjamin produksi baterai keberhasilan produksi baterai. Pertimbangan biaya dan kemampuan storage dari material baru juga harus diantisipasi,” pungkas Agus.