IndexU-TV

Glorifikasi Objektifikasi Perempuan Dalam Film “Selesai”

Film “Selesai” karya Tompi. (Foto: Antara/HO-Bioskop Online)

Catatan Tahunan Komnas Perempuan melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan paling menonjol selama 2020 adalah kekerasan di ranah personal atau KDRT yaitu sebanyak 6.480 kasus. Kekerasan terhadap istri menempati peringkat pertama sebanyak 3.221 kasus. Bentuk kekerasan paling menonjol adalah kekerasan fisik, kekerasan seksual, psikis dan ekonomi.

Lalu apakah untuk menunjukkan film berpihak pada perempuan lantas ceritanya harus memenangkan tokoh perempuan sementara tokoh pria harus terkena azab? Tidak juga. Sutradara boleh saja mempertahankan alur cerita ini asalkan membuang unsur-unsur yang mengobjektifikasi perempuan dan menambahkan rasa empati ke dalam film.

Sebutlah film ini adalah karya yang menganut nilai seni untuk seni, namun nyatanya “Selesai” tidak seindah itu. Film ini hanyalah produk kitch layaknya karya-karya sutradara asal Amerika, Wes Anderson. Hal itu jelas terlihat dari pemilihan warna-warna cerah dan senada di dalam film ini.

Film menggunakan pencahayaan hangat seperti yang ada di film-film Anderson. Sayangnya pencahayanya cenderung oranye, hal itu membuat penonton sulit mengetahui dimensi waktu dalam film itu, apakah pagi, siang, sore atau malam.

Tak hanya perkara dimensi waktu, penonton juga kebingungan dengan lini waktu dalam film ini, apakah semua kejadian ini terjadi dalam waktu satu hari, dua hari, atau jangan-jangan seminggu.

Plot cerita maju-mundur di awal film dalam film ini juga mengingatkan dengan plot film “The Grand Budapest Hotel”.

Beberapa adegan juga dijaga kesimetrisannya, sayangnya di beberapa frame kesimetrisan yang harusnya presisi ini justru menghasilkan ketidaksempurnaan. Misalnya adegan saat Broto, Ayudina, dan Yani berkumpul di dapur. Demi mempertahankan komposisi yang simetris, sutradara memilih membiarkan tubuh pemeran terpotong kamera. Bukannya estetik, adegan itu malah mengganggu mata. Padahal bisa saja sutradara memilih lensa yang lebih lebar atau merapatkan jarak antar pemain.

Untuk tata suara film ini menggunakan latar suara paradoks dengan musik ceria untuk adegan yang seharusnya tegang.

Sebenarnya sah-sah saja untuk membuat backsound yang paradoks dengan adegan, namun dalam film ini peletakan suara itu seperti salah moment. Agar tak salah “treatment”, Tompi bisa mencontoh film “Berbagi Suami” (2006) karya Nia Dinata untuk menerapkan latar suara yang paradoks. Dengan backsound seperti itu, Nia telah mengubah pengalaman penonton dalam melihat poligami, dari tragedi menjadi satir.

Meski demikian film ini bukan tidak memiliki potensi untuk menjadi film bagus jika durasi film ini dipadatkan menjadi film pendek dengan dialog yang dalam dan fokus pada permasalah perceraian antara Broto dan Ayudina saja.

Pewarta: Antara
Editor: Albet

Exit mobile version