Tanjungpinang – Gagasan bisnis tak melulu lahir dari pemikiran cemerlang dan perencanaan matang. Bisa juga karena kepepet. Ide yang sebelumnya tak pernah melintas, tiba-tiba muncul di tengah kesusahan.
Situasi itu dialami Kartika Kusumastuti, owner Citra Sari Snack & Catering. “Unsurnya ya kepepet, mengharuskan kita melakukan sesuatu untuk bertahan hidup,” ungkapnya dalam program U Cast yang tayang di kanal Youtube Official UTV sejak pekan lalu.
2002 salah satu tahun terberat dalam hidup Kartika dan suaminya, Sri Sudarsono. Kondisi finansial keluarga ketika itu terpuruk. Sangat rendah. Ia bahkan menyebut utangnya dua kali tinggi Gunung Bintan. Saking banyaknya.
“Dulu kayaknya paling sengsara deh, waktu itu,” ujar wanita berkacamata yang siang itu mengenakan hijab hijau muda ini.
Baca juga: Kisah Soeharto Dari Pangkostrad Hingga Jadi Presiden
Siapa sangka, situasi yang membuat Kartika tertekan justru menghadirkan banyak ide di benaknya. Ia sempat bimbang memilih berbisnis pakaian atau berdagang hasil perkebunan, sesuai latar belakang pendidikannya sebagai insinyur pertanian. Namun akhirnya ia memilih usaha makanan.
Alasannya sederhana. Kata Kartika, semua orang, semua level, semua umur, memerlukan makanan. Yang membedakan hanya jenisnya saja. Dasar itulah yang membuat Kartika yakin memilih bisnis kuliner. “Usaha makanan juga bisa dimulai dengan modal yang sangat minim,” ungkapnya.
Modal pertama menjalani bisnis tak sampai Rp500 ribu. Awalnya ia jualan keripik ubi pedas alias keripik sanjai. Cuma penjual, bukan produsen. Suatu hari di tahun 2002, ia bertemu seorang pedagang di dalam angkutan umum yang membawa keripik dalam kemasan. Bentuknya bagus dan variasi rasanya banyak.
Maksud hati ingin memborong, apa daya cuma ada Rp25 ribu di kantong. Kartika harus menyisihkan Rp5.000 untuk ongkos angkutan umum. Sisanya dibelikan keripik.
“Satu bungkus Rp2.500, jadi dapat delapan macam,” ujar wanita kelahiran Yogyakarta, 23 November 1968 ini.
Baca juga: Kisah Anggota Polri Yang Tertembak Saat Menjaga NKRI
Karena rasanya enak, terutama yang keripik pedas, Kartika menawarkan kerjasama. Ia akan mengambil dalam jumlah banyak untuk dijual lagi. Bahasa kerennya reseller. Dan kisah bisnis Citra Sari pun dimulai.
Sore hari setelah negosiasi, Kartika dapat pesanan pertama dari temannya. Tidak banyak, cuma satu kilo. Namun lambat laun pembeli terus berdatangan, seiring promosi dari mulut ke mulut dan cerita orang yang pernah merasakan produk yang dipasarkan dengan merek Citra Sari itu.
Menurut Kartika, dari satu kilogram keripik, ia dapat untung Rp5.000. “Tahun 2002 keuntungan Rp5.000 itu sudah termasuk lumayan. Sehari marjinnya bisa Rp50 ribu,” ujarnya.
Bisnis memang tak selalu manis. Kerja sama dengan produsen keripik itu, terpaksa ia hentikan. Kartika merasa kualitas keripik yang ia pasarkan, menurun. Ini lantaran rekanannya diam-diam mengganti bahan baku, terutama bahan untuk bumbu, demi menghemat biaya. Kartika sulit menerima alasan itu.
Meski pecah kongsi, bisnis tak boleh terhenti. Kartika yang sudah terlanjur tercebur, memilih bertahan di bisnis makanan. Ia ingat, cita-citanya untuk sukses membangun usaha agar memberi manfaat bagi orang banyak, belum tercapai.
Dari situ Kartika mulai memproduksi sendiri kue-kue tradisonal, terutama epok-epok alias pastel. Kartika yang asli Jawa, mengubah cita rasa makanannya sesuai lidah orang Kepri. Rupanya cocok. Order terus berdatangan, baik dari perorangan, perusahaan hingga pemerintahan.
Usaha yang ia rintis di tengah kesusahan itu mulai menunjukkan hasil, meski hadangan seakan tak ada habisnya. Cibiran dan cemoohan, sayup-sayup masih terdengar. Termasuk dibilang ‘insinyur kok jualan kue’.